
TUGAS SEJARAH
EVOLUSI HINDU II
NAMA : I WAYAN JULIANTARA
KLS : IV A(sore)
NO
: 10
NPM : 11.07.01.1312
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS
PENDIDIKAN AGAMA DAN SENI
UNIVERSITAS
HINDU INDONESIA
2013
PURA BANUA
Pura Banua/Pura Banua kawan terletak
di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap
keselatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. Dahulunya
di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk
tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang
lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan
adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih,
artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah
dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup. Pura Banua merupakan salah satu
kompleks Pura Besakih yang berisi simbol-simbol sakral yang dapat kita gali
nilai-nilai simbolisnya. Ada nilai-nilai penuh makna di balik simbol yang
berada di Pura Banua tersebut. Secara umum Pura Banua itu adalah sebagai media
pemujaan pada Tuhan untuk memohon kekuatan spiritual agar umat mampu mengelola
kekayaan alam ciptaan Tuhan itu secara produktif dan efisien.
Pura Banua ini salah satu
kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali.
Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura
Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa
menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah
suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara
kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan
suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong
sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu
sebagai Dewa Kemakmuran. Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu
lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut
jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut
terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.
Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil
padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri
yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa
Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam
lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna
jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini
tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu. Sesungguhnya
adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng
di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral.
Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif
dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk
dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar
ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur
secara berkelanjutan. Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu
divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa
dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut
terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan
sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan
sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura. Di
Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini
ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai
Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan
sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin
masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.
Adanya balai Pesamuan dengan
delapan tiang itu sebagai simbol bahwa dalam mengelola bumi ini dengan
hasil-hasilnya hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat
luas. Segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan bersama harus dipikirkan bersama
dengan semangat musyawarah, sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan.
Kekayaan alam yang dikandung bumi ini bukan untuk suatu golongan tertentu saja.
Kekayaan tersebut untuk semua umat manusia, termasuk makhluk hidup lainnya.
Demikianlah nampaknya nilai-nilai yang tersembunyi di balik simbol sakral di
Pura Banua Besakih.
DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari
Bali Post tertanggal 9/5/2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar