

OLEH
:
NAMA : I WAYAN JULIANTARA
NIM :
11.07.01.1312
NO :
10
KELAS : III A (sore)
MP : SOSIOLOGI AGAMA

Om
Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan paper dengan
judul
“TRADISI
NGARAP SAWA” tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak I Gusti
Ngurah Jayanti,S.Sos.,M.Si, selaku dosen mata kuliah Sosiologi Agama di
Fakultas Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Adapun
tujuan penulis mengangkat judul ini yaitu untuk memberikan informasi tentang pelaksanaan
dan tatanan dari upacara Ngarap Sawa. Selain juga untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah sosiologi agama. Besar harapan penulis, paper ini bisa bermanfaat
bagi kita semua.
Paper
ini sungguh sangat jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan paper ini.
Terima
kasih.
Om
Shantih, Shantih, Shantih, Om
Denpasar,
14 Mei 2013
Penulis,
DAFTAR
ISI
JUDUL
.............................................................................................. i
KATA
PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR
ISI .......................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
I.1. Latar
Belakang .......................................................................... 1
I.2. Rumusan
Masalah ...................................................................... 2
I.3. Manfaat
..................................................................................... 2
I.4. Metode
..................................................................................... 2
I.5. Tujuan
Penulisan.........................................................................
2
BAB
II PENDAHULUAN
II.1. Pengertian Upacara ngaben........................................................ 3
II.2. Pencarian haribaik....................................................................... 5
II.3. Pengertian
Ngarap sawa............................................................. 5
II.4. Tujuan dan Pelaksanaan Ngarap Sawa....................................... 6
BAB III PENUTUP
III.1. Kesimpulan
.............................................................................. 10
III.2. Saran......................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA ............................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Kematian
atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus,
ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang
Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status
batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang
tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Didalam
perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap
seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga
perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa
pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan
kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi mati
adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa,
masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk
memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban
budaya.
Khususnya di
Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh
masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai
upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang
disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan
Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan
kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
I.2
RUMUSAN MASALAH
Dari judul paper yang penulis
kemukakan di atas, adapun rumusan masalah yang didapat yaitu:
I.2.1 Apa pengertian Ngaben?
I.2.2 Bagaimana cara menentukan hari baik?
I.2.3 Apa pengertian Ngarap sawa?
I.2.4 Apa tujuan dan bagaimana pelaksanaan upacara ngarap sawa?
I.3 MAFAAT
Manfaat
yang didapatkan dari paper ini yaitu bagaimana rasa persaudaraan itu bisa terjalin
erat melalui suatu proses upacara yadnya yang sering kita lakukan di bali.
I.4 METODE PENULISAN
Metode
yang digunakan adalah metode observasi yaitu metode pengumpulan data dengan
cara terjun langsung kelapangan dan juga mewawancarai yang tahu tentang prosesi
upacara ngaben seperti Pemangku
I.5 TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah yang penulis
sampaikan diatas, adapun tujuan penulisan paper ini yaitu:
I.5.1 Untuk menjelaskan tentang upacara ngaben.
I.5.2 Untuk menjelaskan cara penentuan hari baik.
I.5.3 Untuk menjelaskan tentang tradisi ngarap sawa.
I.5.4 untuk menjelaskan tujuan dan pelaksanaan ngarap sawa.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Ngaben
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat
yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah
agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini
termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur.
Makna upacara
Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah
meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda/Pinandita mengatakan manusia
memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu
dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
Upacara
Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang
meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam
sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah (saat
ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit).
Upacara ini
biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada
suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal
karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Hari
pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan
oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari sebelum
upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade
dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan
lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan
Ngaben.
Pagi hari
ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat
akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan/ dimandikan atau
yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga. “Nyiramin” ini
dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat.
Setelah itu
mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali, parvum, bedak dan sebagainya seperti
layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh
keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah
yang diupacarai memperoleh tempat yang baik.
Setelah
semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai
ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan
diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih
yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang roh menuju tempat
asalnya.
Di setiap
pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya
di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang
telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida
Pedanda/Pinandita, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini
kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Setelah
upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura
masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat,
karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya.
Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali
dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi
dari orang tuanya.
II.2 Hari Baik atau
Dewasa Ngaben
Pada
hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya
pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam
besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia
serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh
setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna,
dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya
matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan
penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh
yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari
inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan
merupakan dasar pokok dari dewasa ngaben.
Bila kita
perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke
selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian
sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan
petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
II.3 Pengertian Ngarap Sawa
Ngarap berartikan membawa dan sawa berati jenasah jadi
Ngarap sawa merupakan suatu rangkaian kerja gotong royong dalam upacara pitra
yadnya yang dilakukan pada waktu pengusungan sawa/ jenazah dan balai ke bade/ wadah dimana sebelum sawa diarak ke
setra atau tempat pembersihan / mepeningan, kemudian dari tempat pembersihan ke
balai, dan balai ke tempat pengusungan (wadah, bade, papaga, dan lain- lain)
kemudian pengangkatan sawa/ jenazah dari wadah ke tempat pembasmian/
penguburan. Di desa Banjar Anyar Marga Tabanan ada suatu hal yang menarik dari
ngarap sawa, dimana sebelum sawa itu dinaikan ke bade terlebih dahulu di arak
(di gujeg) oleh para pemuda setempat, ini sudah menjadi tradisi didesa Banjar
Anyar dimana setiap ada upacara pengabenan terjadi pelaksanaan ngarap sawa ini.
Ditanyakan kepada para petua disana mereka mengatakan tidak tahu mengapa ada
hal seperti itu, mereka Cuma mengatakan bahwa itu adalah tradisi jadi kita
wajib melaksanakannya. Pelaksanaan ngarap juga tidak sampai disitu saja
melainkan pengusungan wadah (bale) pepaga dan lain- lain ke setra juga termasuk
ngarap.
II.4 Tujuan
Ngarap dan Pelaksanaan Ngarap.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa simpati
terhadap yang meninggal dan keluarganya dari seluruh keluarga, famili, handai
tolan dan masyarakat.
Berdasarkan Tattwa- Tattwa dalam Sarasamuçcaya dan
Itihasa Bharatayuda disebutkan bahwa penyelenggaraan pembakaran/ penguburan/
sawa/ jenazah dilaksanakan dengan baik hormat dan tertib. Mestinya pelaksanaan
ngarap sesuai dengan tattwa- tattwa tersebut di atas, tetapi kenyataannya
banyak yang menyimpang dari ketentuan- ketentuan itu.
Sebelum prosesi ngarap sawa dilakukan ada beberapa hal
yang juga dilakukan oleh pemuda Br. Anyar yaitu mealih-alihan (mencari bahan)
dan nguncang (memukul kentongan/lesung beras pada malam hari)
“Mealih-alihan” dilakukan
sejak sawa sudah berada dirumah duka dan masyarakat sudah mulai berdatangan
untuk membuat banten, bade/wadah, dan perlengkapan yang akan dipergunakan dalam
upacara pengabenan nantinya. Disini pemuda mendapatkan satu tugas mencari bahan
– bahan yang tidak terdapa dirumah duka atau didesa, biasanya bahan –bahan ini
dapat ditemukan di jaba pura, di griya dan ditempat - tempat tertentu, karena
sering atau selalu pemuda yang melakukan hal seperti itu, jadi tempat-tempatnya
sudah diketahui, meskipun ada beberapa yang tidak terdapat di sana biasanya
sampai nyari ke pasar marga atau bahkan sampai nyari di pasar badung.
Adapun rincian alih-alihan yaitu :
- Tain blek
- Kedukduk putih
- Tanah 3 warna (merah, putih, hitam)
- Pasir melela
- Lateng ngiu
- Padang lepas
- Bayem luhur
- Plawa
- Ambengan
- Daun ancak
- Daun beringin
- Daun uduh
- Kelapa udang
- Kelapa sudamala
- Ae mincid
- Biaung
- Dll
Adapun
acara yang disebut dengan Nguncang
yaitu acara dimana kita para pemuda membuat keramaian dimalam hari setelah sawa
itu dimandikan, biasanya hal ini dilakukan dari pukul 23.00 – 01.00 pagi.
Nguncang atau membuat keramaian ini bukan hanya sebatas rame tapi ada alunan
nada di dalamnya seperti alunan kendang Bali yang disebut gilak atau
mecandetan. Fungsi dari nguncang adalah untuk ngelemahin dengan kata lain
membuat malam itu seperti siang hari karena malam itu di identikkan dengan sepi
dan siang diidentikan dengan keramaian maka dilakukanlah nguncang ini selain
itu juga untuk menjauhkan orang-orang yang berniat jahat kepada sawa atau dari
setan-setan yang ingin menghampiri dan mendekat kerumah duka serta menyakiti/
menganggu orang-orang yang berada disana. Nguncang
biasanya dilakukan oleh 3-10 orang pemuda. Nguncang
dilakukan setiap malam dan puncaknya adalah dimalam terakhir sawa itu berada di
rumah duka atau sampai orang/keturunannya datang dari nunas (mencari) tirta
penembak datang.
Paginya
sebelum acara ngarap sawa dilakukan biasanya pemuda membantu para orang tua
atau asyarakat mengikat sanan bade dan lembu, setelah itu semua masyarakat
dipanggil untuk makan bersama setelah makan biasanya pemuda dibagikan baju
untuk dipakai pada saat ngarap nanti biar kelihatan kompak. Setelah itu prosesi
ngarap ini dilakukan, seperti yang dikatakan tadi diatas bahwa ngarap sawa di
Banjar Anyar memiliki keunikan yaitu dimana yang diutamakan melakukan ngarap
ini adalah para pemuda, meskipun masih ada orang-orang tua yang ikut, mungkin
karena cemas takut sawanya jatuh saat upacara pengarapan sawa itu terjadi,
karena saat pelaksanaannya para pemuda tidak menghiraukan yang ada disampingnya
jadi dengan kata lain agak sedikit brutal, akan tetapi disanalah katanya
terdapat kesenangan dari ngarap tersebut penuturan dari seorang pemuda, dimana
dia merasa saat itu semua beban terasa lepas karena tenaga yang dipergunakan
cukup besar jadi beban pikiran terhempaskan disana. Pelaksanaan ngarap ini
dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat dirumah duka setelah turun dari balae
sebelum naik ke bade, biasanya pelaksanaannya dilakukan dengan rame-rame juga
ada sorak-sorak dari pemuda untuk menyemangati dan juga menghilangkan rasa
takut, didalam pelaksanaan ngarap kita tidak boleh takut, dan tidak boleh sakit karena disini mental
kita diuji agar bisa lebih kuat siapa tau nanti kita memiliki saudara atau
keluarga yang meninggal kita tidak takut lagi mengambilnya, biasanya pemuda
pemula tidak langsung mengambil atau memegang jenasah, mereka terlebih dahulu
memeganggi orang yg sudah biasa ngarap. Jika tidak memiliki mental yang kuat
bisa-bisa malam harinya tidak bisa tidur karena ketakutan. Setelah ngarap
dirumah duka lalu para pemuda mengusung singa atau lembu ke setra, lembu atau singa disebutkan sebagai
kendaraan yang meninggal menuju surga, sesampainya disetra pemuda menantikan
pelaksanaan ngarap lagi sekali yaitu pada saat sawa diturunkan dari bade atau
wadah pemuda ngarap dan langsung ditaruh di singa atau lembu yang mereka usung
tadi.
Setelah
sawa atau jenasah berada dilembu lalu mayat diupacarai dan di berikan tirta
lalu keluarga atau keturunannya menyulutkan api pertama di singa atau lembu
tersebut sebagai simbul mereka telah mengiklaskan kepergiannya. Setelah
pembakaran mayat dilakukan, ada suatu
proses yg disebut ngereka, yaitu mengumpulkan kembali tulang-tulang sisa
pembakaran dan membentuknya seperti manusia dan menghiasinya dengan baju dan
memberi wangi-wangian. Kemudian dilanjutkan dengan upacara penghanyudan abu dan
mengambil satu batu untuk menyimbul yang meninggal dan dibawa pulang. Malemnya
dilakukan upacara nyekah dan juga nganyud. Besok paginya dilakukan upacara
meajar-ajar, bertujuan untuk mensucikan sang arwah agar bisa di taruh atau
dilinggihkan di rong tiga sebagai Dewa Hyang.

Gambar
: proses ngarap saat didepan rumah duka

Gambar
: proses ngarap di setra

Gambar
:proses ngereka
BAB
III
PENUTUP
III.1
KESIMPULAN
Kematian
atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus,
ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang
Maha Esa, untuk mempercepat proses pengembaliannya kepada sang pencipta maka
dilakukan ritual khas bali yaitu ngaben. Ngaben
merupakan suatu upacara untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang
sudah meninggal) ke tempat asalnya. Ngarap sawa merupakan suatu rangkaian kerja
gotong royong dalam upacara pitra yadnya yang dilakukan pada waktu pengusungan
sawa/ jenazah dari bale ke bade/wadah. Di dalam setiap pelaksanaan upacara
Ngaben di Desa Br. Anyar Marga Dajan Puri Tabanan, upacara Ngarap Sawa itu
pasti ada. Selain untuk melestarikan tradisi yang telah ada dari dulu, kita
juga dapat menemukan atau menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa kepemilikan, rasa
kekeluargaan dan rasa kegotong royongan. Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan
semaksimal telah ditentukan adanya hari-hari baik (dewasa).
III.2
SARAN
Suatu
tradisi yang terdapat didalam setiap desa dimanapun hendaknya jangan pernah
dihilangkan, bila perlu kita melestarikannya dengan cara apapun, seperti misalnya
upacara ngarap sawa ini di desa Marga sudah hampir hilang, tetapi pemuda di
desa Banjar anyar masih melakukannya berharap agar tradisi itu tetap ada agar
ada yang bisa diwariskan kepada anak cucu atau generasi selajutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nara Sumber : I Nyoman Sujana (mangku Pura Kahyangan
Tiga)
Nara Sumber : Mangku Sri (mangku Prajapati)
www,dewaarka,wordpress,com
// Upacara
Adat Ngaben Umat Hindu Bali _ dewaarka.htm
Ngaben – Pembakaran
Jenasah di Bali _ ankerzone.htm
Martawan
Nyoman.24/10/2012. “Tradisi Ngarap disampalan” media Potret Bali (akses
6/6/2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar