Minggu, 21 Juli 2013

tradisi ngarap sawa di br anyar marga tabanan



TRADISI NGARAP SAWA


OLEH :
NAMA            : I WAYAN JULIANTARA
NIM                : 11.07.01.1312
NO                  : 10
KELAS           : III A (sore)
MP                  :  SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA DAN SENI
UNIVERSITAS HINDU INDONESIA
DENPASAR 
2012
Om Swastyastu,
            Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper  dengan judul “TRADISI NGARAP SAWA” tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis  mengucapkan terima kasih kepada Bapak I Gusti Ngurah Jayanti,S.Sos.,M.Si, selaku dosen mata kuliah Sosiologi Agama di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia  Denpasar.
Adapun tujuan penulis mengangkat judul ini yaitu untuk memberikan informasi tentang pelaksanaan dan tatanan dari upacara Ngarap Sawa. Selain juga untuk menyelesaikan tugas mata kuliah sosiologi agama. Besar harapan penulis, paper ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Paper ini sungguh sangat jauh dari sempurna, maka dari itu penulis  mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan paper ini.
Terima kasih.

Om Shantih, Shantih, Shantih, Om

Denpasar, 14 Mei 2013

Penulis,



DAFTAR ISI


JUDUL      ..............................................................................................        i
KATA PENGANTAR ...........................................................................        ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................        iii
BAB I    PENDAHULUAN
I.1.    Latar Belakang ..........................................................................       1
I.2.    Rumusan Masalah ......................................................................       2
I.3.    Manfaat .....................................................................................       2
I.4.    Metode  .....................................................................................       2
I.5.    Tujuan Penulisan.........................................................................      2

BAB II   PENDAHULUAN
II.1. Pengertian Upacara ngaben........................................................       3
II.2. Pencarian haribaik.......................................................................       5
II.3. Pengertian Ngarap sawa.............................................................       5
II.4. Tujuan dan Pelaksanaan Ngarap Sawa.......................................       6

BAB III PENUTUP                               
III.1. Kesimpulan ..............................................................................        10
III.2. Saran.........................................................................................        10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................        11


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
            Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Didalam perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.

I.2 RUMUSAN MASALAH
Dari judul paper yang penulis kemukakan di atas, adapun rumusan masalah yang didapat yaitu:
I.2.1     Apa pengertian Ngaben?
I.2.2     Bagaimana cara menentukan hari baik?
I.2.3     Apa pengertian Ngarap sawa?
I.2.4     Apa tujuan dan bagaimana pelaksanaan upacara ngarap sawa?

I.3 MAFAAT
            Manfaat yang didapatkan dari paper ini yaitu bagaimana rasa persaudaraan itu bisa terjalin erat melalui suatu proses upacara yadnya yang sering kita lakukan di bali.
I.4 METODE PENULISAN
            Metode yang digunakan adalah metode observasi yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung kelapangan dan juga mewawancarai yang tahu tentang prosesi upacara ngaben seperti Pemangku
I.5 TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah yang penulis sampaikan diatas, adapun tujuan penulisan paper ini yaitu:
I.5.1     Untuk menjelaskan tentang upacara ngaben.
I.5.2     Untuk menjelaskan cara penentuan hari baik.
I.5.3     Untuk menjelaskan tentang tradisi ngarap sawa.
I.5.4     untuk menjelaskan tujuan dan pelaksanaan ngarap sawa.




BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Ngaben
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur.
Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda/Pinandita mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah (saat ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit).
Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.
Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan/ dimandikan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga. “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat.
Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali, parvum, bedak dan sebagainya seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik.
Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang roh menuju tempat asalnya.
Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda/Pinandita, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.


II.2 Hari Baik atau Dewasa Ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa ngaben.
Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
II.3 Pengertian Ngarap Sawa
Ngarap berartikan membawa dan sawa berati jenasah jadi Ngarap sawa merupakan suatu rangkaian kerja gotong royong dalam upacara pitra yadnya yang dilakukan pada waktu pengusungan sawa/ jenazah dan balai ke  bade/ wadah dimana sebelum sawa diarak ke setra atau tempat pembersihan / mepeningan, kemudian dari tempat pembersihan ke balai, dan balai ke tempat pengusungan (wadah, bade, papaga, dan lain- lain) kemudian pengangkatan sawa/ jenazah dari wadah ke tempat pembasmian/ penguburan. Di desa Banjar Anyar Marga Tabanan ada suatu hal yang menarik dari ngarap sawa, dimana sebelum sawa itu dinaikan ke bade terlebih dahulu di arak (di gujeg) oleh para pemuda setempat, ini sudah menjadi tradisi didesa Banjar Anyar dimana setiap ada upacara pengabenan terjadi pelaksanaan ngarap sawa ini. Ditanyakan kepada para petua disana mereka mengatakan tidak tahu mengapa ada hal seperti itu, mereka Cuma mengatakan bahwa itu adalah tradisi jadi kita wajib melaksanakannya. Pelaksanaan ngarap juga tidak sampai disitu saja melainkan pengusungan wadah (bale) pepaga dan lain- lain ke setra juga termasuk ngarap.
II.4 Tujuan Ngarap dan Pelaksanaan Ngarap.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa simpati terhadap yang meninggal dan keluarganya dari seluruh keluarga, famili, handai tolan dan masyarakat.
Berdasarkan Tattwa- Tattwa dalam Sarasamuçcaya dan Itihasa Bharatayuda disebutkan bahwa penyelenggaraan pembakaran/ penguburan/ sawa/ jenazah dilaksanakan dengan baik hormat dan tertib. Mestinya pelaksanaan ngarap sesuai dengan tattwa- tattwa tersebut di atas, tetapi kenyataannya banyak yang menyimpang dari ketentuan- ketentuan itu.
Sebelum prosesi ngarap sawa dilakukan ada beberapa hal yang juga dilakukan oleh pemuda Br. Anyar yaitu mealih-alihan (mencari bahan) dan nguncang (memukul kentongan/lesung beras pada malam hari)
“Mealih-alihan” dilakukan sejak sawa sudah berada dirumah duka dan masyarakat sudah mulai berdatangan untuk membuat banten, bade/wadah, dan perlengkapan yang akan dipergunakan dalam upacara pengabenan nantinya. Disini pemuda mendapatkan satu tugas mencari bahan – bahan yang tidak terdapa dirumah duka atau didesa, biasanya bahan –bahan ini dapat ditemukan di jaba pura, di griya dan ditempat - tempat tertentu, karena sering atau selalu pemuda yang melakukan hal seperti itu, jadi tempat-tempatnya sudah diketahui, meskipun ada beberapa yang tidak terdapat di sana biasanya sampai nyari ke pasar marga atau bahkan sampai nyari di pasar badung.
Adapun rincian alih-alihan yaitu :


  1. Tain blek
  2. Kedukduk putih
  3. Tanah 3 warna (merah, putih, hitam)
  4. Pasir melela
  5. Lateng ngiu
  6. Padang lepas
  7. Bayem luhur
  8. Plawa
  9. Ambengan
  10. Daun ancak
  11. Daun beringin
  12. Daun uduh
  13. Kelapa udang
  14. Kelapa sudamala
  15. Ae mincid
  16. Biaung
  17. Dll



Adapun acara yang disebut dengan Nguncang yaitu acara dimana kita para pemuda membuat keramaian dimalam hari setelah sawa itu dimandikan, biasanya hal ini dilakukan dari pukul 23.00 – 01.00 pagi. Nguncang atau membuat keramaian ini bukan hanya sebatas rame tapi ada alunan nada di dalamnya seperti alunan kendang Bali yang disebut gilak atau mecandetan. Fungsi dari nguncang adalah untuk ngelemahin dengan kata lain membuat malam itu seperti siang hari karena malam itu di identikkan dengan sepi dan siang diidentikan dengan keramaian maka dilakukanlah nguncang ini selain itu juga untuk menjauhkan orang-orang yang berniat jahat kepada sawa atau dari setan-setan yang ingin menghampiri dan mendekat kerumah duka serta menyakiti/ menganggu orang-orang yang berada disana. Nguncang biasanya dilakukan oleh 3-10 orang pemuda. Nguncang dilakukan setiap malam dan puncaknya adalah dimalam terakhir sawa itu berada di rumah duka atau sampai orang/keturunannya datang dari nunas (mencari) tirta penembak datang.
Paginya sebelum acara ngarap sawa dilakukan biasanya pemuda membantu para orang tua atau asyarakat mengikat sanan bade dan lembu, setelah itu semua masyarakat dipanggil untuk makan bersama setelah makan biasanya pemuda dibagikan baju untuk dipakai pada saat ngarap nanti biar kelihatan kompak. Setelah itu prosesi ngarap ini dilakukan, seperti yang dikatakan tadi diatas bahwa ngarap sawa di Banjar Anyar memiliki keunikan yaitu dimana yang diutamakan melakukan ngarap ini adalah para pemuda, meskipun masih ada orang-orang tua yang ikut, mungkin karena cemas takut sawanya jatuh saat upacara pengarapan sawa itu terjadi, karena saat pelaksanaannya para pemuda tidak menghiraukan yang ada disampingnya jadi dengan kata lain agak sedikit brutal, akan tetapi disanalah katanya terdapat kesenangan dari ngarap tersebut penuturan dari seorang pemuda, dimana dia merasa saat itu semua beban terasa lepas karena tenaga yang dipergunakan cukup besar jadi beban pikiran terhempaskan disana. Pelaksanaan ngarap ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat dirumah duka setelah turun dari balae sebelum naik ke bade, biasanya pelaksanaannya dilakukan dengan rame-rame juga ada sorak-sorak dari pemuda untuk menyemangati dan juga menghilangkan rasa takut, didalam pelaksanaan ngarap kita tidak boleh takut,  dan tidak boleh sakit karena disini mental kita diuji agar bisa lebih kuat siapa tau nanti kita memiliki saudara atau keluarga yang meninggal kita tidak takut lagi mengambilnya, biasanya pemuda pemula tidak langsung mengambil atau memegang jenasah, mereka terlebih dahulu memeganggi orang yg sudah biasa ngarap. Jika tidak memiliki mental yang kuat bisa-bisa malam harinya tidak bisa tidur karena ketakutan. Setelah ngarap dirumah duka lalu para pemuda mengusung singa atau lembu  ke setra, lembu atau singa disebutkan sebagai kendaraan yang meninggal menuju surga, sesampainya disetra pemuda menantikan pelaksanaan ngarap lagi sekali yaitu pada saat sawa diturunkan dari bade atau wadah pemuda ngarap dan langsung ditaruh di singa atau lembu yang mereka usung tadi.
Setelah sawa atau jenasah berada dilembu lalu mayat diupacarai dan di berikan tirta lalu keluarga atau keturunannya menyulutkan api pertama di singa atau lembu tersebut sebagai simbul mereka telah mengiklaskan kepergiannya. Setelah pembakaran mayat dilakukan,  ada suatu proses yg disebut ngereka, yaitu mengumpulkan kembali tulang-tulang sisa pembakaran dan membentuknya seperti manusia dan menghiasinya dengan baju dan memberi wangi-wangian. Kemudian dilanjutkan dengan upacara penghanyudan abu dan mengambil satu batu untuk menyimbul yang meninggal dan dibawa pulang. Malemnya dilakukan upacara nyekah dan juga nganyud. Besok paginya dilakukan upacara meajar-ajar, bertujuan untuk mensucikan sang arwah agar bisa di taruh atau dilinggihkan di rong tiga sebagai Dewa Hyang.

Gambar : proses ngarap saat didepan rumah duka





Gambar : proses ngarap di setra
Gambar :proses ngereka

BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
      Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, untuk mempercepat proses pengembaliannya kepada sang pencipta maka dilakukan ritual khas bali yaitu ngaben.  Ngaben  merupakan suatu upacara untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Ngarap sawa merupakan suatu rangkaian kerja gotong royong dalam upacara pitra yadnya yang dilakukan pada waktu pengusungan sawa/ jenazah dari bale ke bade/wadah. Di dalam setiap pelaksanaan upacara Ngaben di Desa Br. Anyar Marga Dajan Puri Tabanan, upacara Ngarap Sawa itu pasti ada. Selain untuk melestarikan tradisi yang telah ada dari dulu, kita juga dapat menemukan atau menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa kepemilikan, rasa kekeluargaan dan rasa kegotong royongan. Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan semaksimal telah ditentukan adanya hari-hari baik (dewasa).
III.2 SARAN
            Suatu tradisi yang terdapat didalam setiap desa dimanapun hendaknya jangan pernah dihilangkan, bila perlu kita melestarikannya dengan cara apapun, seperti misalnya upacara ngarap sawa ini di desa Marga sudah hampir hilang, tetapi pemuda di desa Banjar anyar masih melakukannya berharap agar tradisi itu tetap ada agar ada yang bisa diwariskan kepada anak cucu atau generasi selajutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Nara Sumber   : I Nyoman Sujana (mangku Pura Kahyangan Tiga)
Nara Sumber   : Mangku Sri (mangku Prajapati)
www,dewaarka,wordpress,com // Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali _ dewaarka.htm
Ngaben – Pembakaran Jenasah di Bali _ ankerzone.htm
Martawan Nyoman.24/10/2012. “Tradisi Ngarap disampalan” media Potret Bali (akses 6/6/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar