OLEH
:
NAMA : I WAYAN JULIANTARA
NIM : 11.07.01.1312
NO : 10
KELAS : IV A (sore)
MP : ACARA AGAMA II
KATA
PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji
syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper dengan judul “ Pelaksanaan Upacara Pernukahan ditinjau dari
Pendidikan Agama Hindu”, tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ni Made
Sukrawati, S,Ag, M.Si, selaku dosen mata kuliah Acara Agama II di Fakultas
Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Adapun
tujuan penulis mengangkat judul ini yaitu untuk memberikan tambahan wawasan
kepada pembaca mengenai upacara Pernikahan,
serta mengetahui tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut. Selain juga untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Acara Agama II. Besar harapan penulis, paper
ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Paper
ini sungguh sangat jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan paper ini.
Terima kasih.
Om Shantih, Shantih, Shantih, Om
Denpasar,
Maret 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR..........................................................................
ii
DAFTAR ISI
......................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian perkawinan......................................................... 4
2.2. Makna dari perkawinan/pawiwahan................................... 4
2.3. Peralatan dari upacara perkawinan...................................... 5
2.4. Tata upacara perkawinan/pawiwahan.................................. 11
2.5 Tata cara
Pelaksanaan Upacara Perkawinan/pawiwahan...... 12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan................................................................................. 14
Saran........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umat
Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma,
Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara
bertahap.
Tahapan
untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap
Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta
Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta
Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan
atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama.
Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan
suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar
mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan
profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang
ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam
perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas
yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Pada tahap persiapan,
seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan,
khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil
rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik
kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama
mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam
mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Perkawinan
pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur
untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci
Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan “Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang
juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha
karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang” artinya: dari demikian
banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja
yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke
dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait
dengan sloka di atas, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat
diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui
perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu
yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan
dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi
seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara
Perkawinan
umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman
Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas,
melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan
seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan
pengantin akan dapat dilihat dengan jelas
Pasangan yang tidak cocok (secara
rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat
dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman
Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh
raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga
martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan
lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar
pertimbangan.
Pada
jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua
barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya.
Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan
jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang
melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan
duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi
dan bukan derajat rohani.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian perkawinan
Menurut
UU. No : 1 tahun 1974 pasal 1 mengenai pengertian perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian ini sesuai dengan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat Umat Hindu di Bali, sehingga perkawinan itu
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama/Kerohanian.
Di
dalam membentuk keluarga yang berbahagia itu, erat hubungannya dengan keturunan
maka dari itu perkawinan juga mempunyai pengertian untuk mengadakan
kelahiran/reinkarnasi yang berfungsi sebagai pembayaran hutang kelahiran pada
Orang Tua/Leluhur yang akan disalurkan pada pemeliharaan dan pendidikan anak.
Dengan
demikian jelaslah bahwa perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis,
tetapi perkawinan mempunyai makna yang identik dengan upacara yadnya Samskara
(Sekramen) yang menyebabkan kedudukan dari lembaga perkawinan sebagai lembaga
yang tidak terpisah dengan hukum agama.
2.2. Makna dari perkawinan/pawiwahan
UU
Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama
masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut
“Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita.
Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik
sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai penguasa wilayah madyaning mandala
perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata “kala” yang berarti energi. Kala
merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri
sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa
disebut dalam “sebel kandel”.
Dengan
upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang
bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu
kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala
Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan
Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi
makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai
melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua
mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari
pengantin wanita
2.3. Peralatan dari upacara
perkawinan
1. Sanggah Surya
Di
sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan
sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang
Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang
Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih
Biyu
lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang
Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa
kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul
berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi
sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol
pengantin wanita.
2. Kelabang Kala Nareswari (Kala
Badeg)
Simbol
calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta
diduduki oleh kedua calon pengantin.
3. Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh
dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari
wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai
simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
4. Keris
Keris
sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria.
Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang
kepurusan dari pengantin pria.
5. Benang Putih
Dalam
mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12
bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing
dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka
12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya
Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis
sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara
penyucian tersebut.
Dari
segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang
pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari
Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
6. Tegen – tegenan
Makna
tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Perangkat
tegen-tegenan :
- Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma
- Periuk simbol windhu
- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi)
- Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
7. Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa
bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan
bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang
diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit
yang kecil berkembang menjadi besar.
8. Dagang-dagangan
Melambangkan
kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung
segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar
penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
9. Sapu lidi (3 lebih)
Simbol
Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain,
isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan
kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan
pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan
dan kehidupan rumah tangga
10. Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut
kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup
kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut
kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu
simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian
Telor
bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk)
sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita.
Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di
masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri,
agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini
diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
11.Tetimpug
Bambu
tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan
dari Sang Hyang Brahma.
Contoh
Tabel:
|
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang
Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.
|
||||||||||||||||||
Sarana
|
|
||||||||||||||||||
Waktu
|
Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa).
|
||||||||||||||||||
Tempat
|
Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita
sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
|
||||||||||||||||||
Pelaksana
|
Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi /
Pemangku.
|
||||||||||||||||||
Tata cara
|
|
||||||||||||||||||
Mantram-mantramnya
|
|
||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||
|
2.4. Tata upacara
perkawinan/pawiwahan
Tata
upacara perkawinan dilaksanakan setelah kedua belah pihak dari kedua mempelai
memberikan persetujuan yang kemudian oleh keluarga yang bersangkutan, dalam hal
ini dari Purusha memohonkan hari baik kepada Pendeta yang nantinya sekaligus
akan menyelesaikan upacaranya secara agama. Tata upacara yang dilaksanakan ada
3 fase, yaitu :
1). Upacara Pendahuluan
Pelaksanaan
upacara ini bertujuan agar kedua mempelai yang bersangkutan sekedar dihilangkan
“Sebelnya” sehingga wajar nantinya dilanjutkan dengan upacara berikutnya.
Dengan dilaksanakannya upacara ini, berarti sudah bernilai suci untuk keluar
rumah, masuk ke Pemerajan/Sanggah dan sebagainya.
2). Upacara Pokok
Upacara
ini merupakan upacara “Peresmian/pemuput” baik secara agama, adat dan
kemasyarakatan yang bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesahannya. Maka dari
itu, upacara ini merupakan klimaksnya dari pelaksanaan upacara perkawinan,
karena dalam upacara ini dilakukan pembersihan secara rohaniah terhadap bibit
kedua mempelai yang dipersaksikan secara niskala. Upacara yang bersifat
peresmian ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
Adanya banten yang dihaturkan ke
Surya dan Pemerajan/Sanggah, serta sembahyangnya kedua mempelai kehadapan Hyang
Widhi Wasa, Bhatara/Bhatari manifestasinya yang fungsinya merupakan unsur Dewa
Saksi
Adanya
unsur manusia saksi dalam wujud yang sebenarnya/nyata dengan hadirnya wakil
masyarakat dalam hal ini biasanya dihadiri oleh Prajuru Desa/Klian Banjar ikut
menyaksikan saat pelaksanaan upacaranya.
Adanya
banten byakala/pekala-kalaan atau pedengen-dengen yang diayab oleh kedua
mempelai yang bersangkutan sebagai sarana penyucian dan unsur Bhuta saksi.
Adanya
banten “Sesayut” yang diayab oleh kedua mempelai yang bertujuan untuk
mengikatkan/menyatukan dan meningkatkan pribadi kedua mempelai yang bersangkutan
sebagi suami istri.
3). Upacara Mepejati atau Mejauman
Upacara
ini adalah merupakan lanjutan dari upacara pokok tersebut di atas. Upacara ini
merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan yang bertujuan untuk membersihkan
kedua mempelai secara lahir bathin, memberikan bimbingan hidup dan menentukan
status salah satu pihak yang pada intinya bermakna meninggalkan statusnya dalam
keluarga asal dan akan memasuki keluarga baru yang akan dituju dan dibangun
berikutnya.
2.5 Tata cara Pelaksanaan Upacara
Perkawinan/pawiwahan
Hal
pertama yang dilaksanakan adalah kedua mempelai Mabyakala, dilanjutkan dengan
Maprayascita, berikutnya kedua mempelai diminta duduk menghadap Sanggah Kemulan
dan pada Banten padengen-dengen. Setelah diadakan pemujaan oleh yang muput Upacara
tersebut, maka kedua mempelai diminta sembahyang, dan selanjutnya diupacarai
dengan alat-alat yang ada pada pembersihan itu seperti : sisig, keramas, segau,
tepung tawar lalu diberikan penglukatan dan kemudian natab banten
padengen-dengen.
Setelah
natab, kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kemulan/Sanggah Pesaksi,
yang tiap kali melewati Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan
terhadap Sukla Swanita dan dirinya, ini dilakukan 3 kali. Selanjutnya mempelai
laki-laki berbelanja sedangkan mempelai wanita berjualan. Ketika berjalan
mempelai laki-laki memikul tegen-tegenan dan mempelai wanita menjunjung sok
pedagangan. Upacara jual beli ini menyimbulkan sebagai tercapainya kata sepakat
untuk memperoleh keturunan yang kemudian dilanjutkan dengan merobek tikar
pandan yang dipegang oleh mempelai wanita oleh mempelai laki-laki dengan keris
yang berada pada penegtegan. Hal ini merupakan simbul pemecahan selaput dara si
gadis.
Kemudian
dilanjutkan dengan memutuskan benang yang terlentang pada kedua cabang dadap (
Pepegatan) sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya dan kini
berada dalam fase lanjutan yang baru yaitu suami istri. Berikutnya dilanjutkan
dengan menanam pohon kunir, keladi dan andong di belakang sanggah kemulan bersama-sama
dengan suaminya. Selesai upacara ini maka kedua mempelai melanjutkan dengan
acara mandi dan ganti pakaian yang nantinya pada sore harinya dilanjutkan
dengan melukat, mejaya-jaya, natab dapetan seadanya dan diakhiri dengan
mepejati/mejauman ke rumah si gadis yang tujuannya menyatakan bahwa mulai saat
ini si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya.
Dengan berakhirnya upacara mepejati ini, maka upacara perkawinan itu telah
dianggap selesai.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : Perkawinan memiliki hubungan yang
sangat erat dengan Agama/Kerohanian dimana perkawinan tidak hanya sekedar
hubungan biologis tetapi juga berfungsi sebagai pembayaran hutang kelahiran pada
Orang Tua/Leluhur yang akan disalurkan pada pemeliharaan dan pendidikan anak. Peralatan dalam upacara perkawinan
dalah seperti; sanggah sarya,kelabang kala narerwari, tikeh dadakan, keris,
benang putih, tegen-tegenan, suwun-suwunan, dagang-dagangan, sapu lidi, sambuk
kupakan,teimpug. Tata upacara perkawinan/pawiwahan ada 3 tahapan yaitu
upacara pendahuluan yang bertujuan agar kedua mempelai dapat dihilangkan
’sebelnya’, upacara pokok yang bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesahan
dalam perkawinan dan tahapan terakhir adalah upacara mepejati/mejauman yang
bertujuan untuk membersihkan kedua mempelai secara lahir bhatin.
3.2
Saran
Perkawinan
atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama.
Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan
suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar
mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan
profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang
ingin menempuh jenjang perkawinan. Selain itu pernikahan adalah suatu hal
yang di sakralkan dalam Agama Hindu jadi jangan pernah main-main didalam
melaksanakan perkawinan, karena perkawinan yang kita lakukan bersama pasangan
akan berlangsung selama kita hidup dan menjadi orang yang setia.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar