Om
Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Peradaban Lembah
Sungai Sindhu dan Zaman Weda”, tepat pada waktunya. Tidak
lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Prof. Dr.Litt. Dr. I
Gusti Putu Phalgunadi, M.A, selaku dosen mata
kuliah Sejarah Evolusi Hindu di Fakultas
Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Adapun tujuan penulis mengangkat judul ini yaitu, untuk memberikan pemahaman tentang peradaban yang terjadi pada zaman Lembah Sungai Sindhu
dan zaman Weda. Selain juga untuk menyelesaikan
tugas mata kuliah Sejarah Evolusi Hindu.
Besar harapan penulis, makalah
ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Makalah ini sungguh sangat
jauh dari sempurna, maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Terima
kasih.
Om
Shantih, Shantih, Shantih, Om
Denpasar, 29
Oktober 2012
Penulis,
DAFTAR PUSTAKA
Sejarah
Evolusi Hindu merupakan ilmu yang secara khusus mempelajari proses pertumbuhan
Agama Hindu, perkembangan dan perubahannya yang berlangsung secara
perlahan-lahan dari masa kemasa.
Sebelum kata
‘Hindu’ atau ‘Hinduisme’ dipakai oleh orang-orang hindu sekarang, istilah ini
telah memiliki sejarah sendiri. Mula-mula istilah ini diberikan oleh
orang-orang asing yang datang ke India seperti, Yunani, Arab, dan Persia
(sekitar abad ke-8 Masehi). Mereka datang ke India melalui jalan daerah
Barat-Daya India yang disebut Hindu-Kush, di pegunungan himalaya. Istilah
‘Hindu’ ini, pertama kali dipakai secara resmi di India dalam sebuah prasati
yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah kerajaan Vijayanagar di India
Selatan pada abad ke-15 Masehi. Istilah “Hindu” digunakan dalam catatan-catatan
Raja Acahaemenian dari Iran, kemudian istilah “Hindi” umum dipakai oleh
pengarang-pengarang Islam di India pada zaman itu (Klostermaier, 1990:31;
Chattopadhyaya, 1970:2).
Peradaban lembah sungai Sindhu
dibangun oleh penduduk asli India yaitu bangsa Dravita yang sudah mempunyai
peradaban yang tinggi, bahkan sebelum bangsa Arya memasuki India sekitar tahun
2.000 SM. Bukti – bukti sejarah yang ditemukan disepanjang lembah sungai
Sindhu, Harappa, dan Mohenjodaro menegaskan hal itu. Agama Bangsa Dravida (Dravida Religon), sedangkan agama pribumi di India (Aboriginal Religion) (Luniya, 2002:25) mempunyai peranan penting
dalam pertemuannya dengan Agama Weda yang dibawa bangsa Arya kemudian. Weda
adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para rsi-rsi pada zaman dahulu,
kemudian Sastra-sastra ini diteruskan dan diajarkan secara lisan berabad-abad
lamanya. Disimpan secara rahasia dalam tradisi perguruan, dan diinterpretasikan
seta dikomentari oleh pra Maharsi.
Seiring dengan berjalannya
waktu tradisi Weda ini semakin memudar. Sebagian besar tradisi pemujaan
danpraktik keagamaan yang bersumber dari Weda itu telah diganti dan dirubah
dengan wujud yang lebih modern.
I.2.1
Bagaimana Peradaban Lembah Sungai Sindhu?
I.2.2
Bagaimana perkembangan Agama Hindu pada Zaman Weda?
I.3.1
Menjelaskan tentang Peradaban Lembah Sungai Sindhu.
I.3.2
Menjelaskan tentang perkembangan Agama Hindu pada Zaman Weda
Pada mulanya, Sejarah India Kuno atau Sejarah Hindu
umumnya dianggap sejarah agama Weda orang-orang Arya (Vedic Aryan) saja. Akan tetapi, setelah Sir John Mashall menemukan
peninggalan sejarah Harappa dan Mohenjodaro pada akhir abad ke-20, anggapan ini
mulai terbantahkan. Penemuan sejarah ini menunjukan adanya bukti-bukti bahwa
sebelum kedatangan bangsa Arya, penduduk asli India telah memiliki peradaban
sendiri. Kemudian diketahui bahwa penduduk asli India itu adalah suku bangsa
Dravida yang mempunyai ciri-ciri ; berkulit hitam, berhidung pesek, berambut
kriting, dan berbadan pendek.
Teori tentang peradaban India Kuno di awali dari
penggalian arkeologis di distrik Sind, daerah Larkana (Mohenjodaro) dan
Montgomery di distrk Punjab Barat pada tahun 1921. Penggalian ini kemudian
dilanjutkan di sepanjang Lembah Sungai Sindhu, bahkan lebih jauh lagi.
Agama Orang Dravida (Dravidian
Religion) atau Agama Lembah Sungai Sindhu (Indus Religion), memberikan sejarah penting bagi sejarah evolusi
agama Hindu di India. Kebudayaan Lembah Sungai Sindhu ini secara
berangsur-angsur mempengaruhi kebudayaan orang Arya sehinga terjadilah
percampuran kebudayaan antara keduanya, walaupun pada akhirnya lebih didominasi
oleh agama Weda. Untuk menunjukan pengaruh peradaban Lembah Sungai Sindhu
terhadap Agama Weda (vedic Religion)
akan diuraikan ciri-ciri penting Agama Pribumi India (Majumdar, 1998:27),
sebagai berikut:
- Pemujaan Kepada Dewi Ibu (Mother Goddess)
Ciri-ciri yang sangat menonjol dalam Agama
Lembah Sungai Sindhu adalah adanya pemujaan kepada Mother Goddess (Dewi Ibu). Mother
Goddess ini digambarkan sebagai wanita telanjang dengan posisi mengangkang,
tengkurap, terlentang, dan berdiri. Orang-orang yang hidup dilembah sungai
Sindhu percaya bahwa Mother Goddess
atau kekuatan perempuan (Shakti)
merupakan sumber dari semua ciptaan. Selain itu, juga diyakini sebagai Dewi
Kesuburan, Penguasa tumbuh-tumbuhan, penguasa dan pemberi kekuatan magis.
- Pemujaan Kepada Dewa Purusa (Male God)
Dalam salah satu materai (seal), ditemukan
suatu ukiran yang berwujud manusia bertanduk dua memakai ikat kepala, dan
dikelilingi beberapa binatang. Wujud ini dianggap sebagai prototype Shiwa
sebagai Shiwa Yogeswara. Sementara
itu, adanya beberapa binatang yang mengelilinginya menunjukan prototype Shiwa Pasupati atau Dewa penguasa
binatang buas. Atribut yang terpenting dari Shiwa
Pasupati adalah bermuka tiga (Tri Muhka) dan memegang senjata Trisula (Tripathi, 1999:21-22).
Wujud orang bermeditasi yang ditemukan di
lembah sungai Sindhu sangat sesuai dengan sebutan Shiwa Mahayogi atau Shiwa
Yogeswara dalam agama Hindu. Perwujudan Dewa laki-laki (Dewa Purusha)
sebagai Dewa Pasupati juga dapat
dilihat dari dua buah tanduk dan jata, yang mengingatkan dengan konsepsi Trisula.
- Pemujaan Lingga-yoni (Ithy-Phallicism)
Pemujaan Lingga
merupakan penemuan penting dari kebudayaan Lembah Sungai Sindhu. Bukti
adanya pemujaan Lingga ini ditandai dengan penemuan batu berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) yang
berbentuk kerucut (conical) dan
silinder (cylinder). Pemujaan ini
memegang peranan penting dalam agama Lembah Sungai Sundhu.
- Pemujaan kepada Pohon dan Binatang
Pemujaan kepada pohon ditandai dengan
ditemukannya bukti berupa gambar-gambar pohon bersama-sama dengan wujud manusia
dengan atribut-atributnya. Ada beberapa pohon yang dilukiskan dalam sebuah
materai (seal) antara lain : pohon pipal,
beringin, akasia (Luniya, 2002:31). Sementara itu, tanda-tanda adanya
pemujaan kepada binatang ditandai dengan adanya gambar-gambar seperti ular,
lembu, harimau, kerbau, badak, gajah, dan binatang aneh bertanduk satu (unicorn) (Mahajan, 2002:69). Mengenai
pemujaan kepada binatang ini ada beberapa pendapat menjelaskan kemungkinan
tujuan dan fungsinya, antara lain : (a) sebagai pemujaan kepada pohon atau
binatang itu sendiri (sejenis animisme dan dinamisme); (b) sebagai kendaraan
Dewa tertentu; dan (c) sebagai simbol-simbol yang berkaitan dengan Dewa
tertentu. Seperti misalnya, lembu sebagai wahana Dewa Shiwa dan harimau sebagai
wahana Dewi Durga.
- Pemujaan Patung atau Arca (Iconism)
Pemujaan kepada patung merupakan salah satu
yang terpenting dalam kebudayaan Lembah Sungai Sindhu yang tidak dikenal dalam
agama Weda (Luniya, 2001:33). Bukti adanya pemujaan ini ditandai dengan
ditemukannya sebuah patung yang menyerupai seorang yogi, dengan ciri-ciri mata
memicing melihat ujung hidung (Mahajan, 2002:63). Boleh jadi, patung ini
merupakan perwujudan prototype Shiwa
Yogeswara, seperti juga ditemukan
dalam gambar materai-materai lainnya.
- Upacara Kuban
Penggalian di situs Harappa dan Mohenjodaro
ternyata juga menunjukan adanya bukti-bukti bahwa agama Lembah Sungai Sindhu
sudah mengenal adanya upacara kurban. Dalam sebuah materai (seal) yang
ditemukan di Harappa terdapat lukisan seorang laki-laki mengangkat sabit
(clurit) dan di depannya duduk seorang perempuan dalam sikap menyembah.
Sementara itu, penemuan bukti sejarah dari sebuah materai di Mohenjodaro
melukiskan: (a) seorang pemuja dengan sikap menyambah; (b) disebelah pemuja
tersebut ada seekor binatang; (c) seorang laki-laki memegang sabit; dan (d)
dibawah gambar tersebut terdapat tujuh perempuan berderet. Lukisan binatang dan
orang memegang sabit ini diperkirakan sebagai bukti adanya kurban manusia (Marshall,
1931; Mackay, 1935).
Selain itu juga, ditemukan bukti-bukti adanya
persembahan bunga, daun, buah, dan air (Majumdar, 1998:18; Luniya, 2002:25).
Agama Lembah Sungai Sindhu juga sudah mengenal upacara kematian. Ada tiga
sistem upacara kematian, yaitu penguburan, penjemuran, dan pembakaran mayat
yang abu sisa pembakarannya dibuang kesungai (Luniya, 2002:28).
Kepercayaan Lembah Sungai Sindhu memiliki kesamaan dengan
kepercayaan dalam agama Hindu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
prototype pemujaan kepada Shiwa dan Shakti, Lingga, pohon, binatang, upacara
kurban, dan upacara persembahan lainnya sudah lama di praktikan oleh masyarakat
dilembah sungai Sindhu, jauh sebelum kedatangan orang-orang Arya ke India
(Macmillan, (ed) 1978:21-23). Dengan mengetahui hal ini maka semakin jelas
bahwa perkembangan agama dan kebudayaan Hindu sekarang ini, bukanlah
semata-mata warisan dari peradaban bangsa Arya atau agama Weda (Vedic Religion).
Peradaban Lembah Sungai Sindhu dilanjutkan oleh
orang yang menyebutkan dirinya bangsa Arya. Mereka datang memasuki India dari
barat laut India melalui Hindu-Kush atau Khaiber Pass. Wilayah ini sangat subur
karena dilalui oleh sungai-sungai besar (Mahajan, 1960: 96-101). Secara fisik,
orang Arya adalah orang berkulit putih, tinggi, berhidung mancung, dan sangat
aktif. Orang Arya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi pada zaman itu,
walaupun mereka hidup nomaden (tidak tetap). Bangsa Arya dianggap sebagai
pembawa dan penyebar agama Weda (Vedic
Religion) di india.
Setelah itu, orang-orang Arya menduduki wilayah
lembah sungai Sindhu (Sapta-Sindhu)
untuk beberapa waktu lamanya. Pada akhirnya mereka menyebar kearah utara dan
timur, yaitu di daerah lembah sungai Gangga dan Yamuna, serta menaklukan
suku-suku lainnya (Tripati, 1999:27, Mahajan, 2002:101). Untuk mendapat
keterangan mengenai kebudayaan bangsa Arya, terutama yang bersangkutan dengan
agama, social, ekonomi, dan politik bangsa Arya,sudah pasti kitab suci Weda
adalah sumber yang terpenting.
A.
Sekilas Tentang Weda
Kata “Weda” berasal dari urat kata “Wid” yang
artinya “pengetahuan” atau “mengetahui”. Weda diyakini bersumber dari wahyu
Tuhan yang di dengar langsung oleh para Maharsi sehingga disebut Sruti. Dengan demikian Weda bukalah
buatan manusia (apuruseya).
Pengajaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan (guruparampara). Weda berjumlah empat yakni Rig Weda Samhita, Sama Weda
Samhita, Yajur Weda Samhita, dan Atharwa Weda Samhita. Kelompok Weda
pertama di sebut Weda Sruti, dan yang
terakhir disebut Weda Smrti. Kitab
suci Weda terdiri atas bagian-bagian, sebagai berikut:
a.
Kitab-kitab Mantra Samhita dari Catur Weda.
b.
Kitab-kitab Brahmana yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
c.
Kitab-kitab Aranyaka yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
d.
Kitab-kitab Upanisad, atau disebut juga kitab Wedanta yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita. Wedanta artinya bagian
akhir Weda.
Kitab Samhita merupakan buku-buku yang isinya berupa
“kumpulan nyanyian pujaan” atau himne yang harus diucapkan atau dinyanyikan
untuk memuji kebesaran daripada Dewa, serta memohon perlindungan dan
anugrahnya. Kitab-kitab Brahmana merupakan risalah (treatise) yang berhubungan dengan doa-doa dan upacara-upacara yajna
(kurban suci). Kitab-kitab Aranyaka berisi
tentang pemujaan, ajaran-ajaram spiritual, perumpamaan-perumpamaan penting dari
tata cara dan upacara keagamaan, serta makna-makna mistis dari kitab-kitab Samhita. Kitab Upanisad berisi filsafat mengenai Brahman (realitas tertinggi), Atman,
Punarbhawa (samsara), asal mula alam semesta, dan kegaiban alam semesta.
Rig Weda adalah weda yang tertua
diantara empat Weda yang lain. Weda pada mulanya diajarkan secara lisan dalam
garis perguruan oleh banyak Rshi. Secara
tradisi diyakini bahwa pengkodifikasian Weda dilakukan oleh maharsi Wyasa
bersama keempat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Waisampayana, dan Sumantu.
Para sarjana memperkirakan bahwa pengkodifikasian itu dilakukan antara tahun
1.500 SM – 1.000 SM. Zaman Weda umumnya
dibagi menjadi dua periode, yaitu Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early
Vedic Peroid), dan Zaman Weda Akhir (Leter Vedic Peroid).
- Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early Vedic Period)
Periodisasi zaman Weda pada umumnya, kalangan sejarah
berpendapat bahwa zaman Weda (zama Rig Weda) diperkirakan berlangsung antara
tahun 2.000 SM – 1.000 SM. Adapun ciri-ciri yang terpenting dari agama Rig Weda
dapat dilihat dari konsep ketuhanan dan ritual yang dilaksanakan sebagai
berikut:
1) Konsep Ketuhanan Rig Weda
Konsep ketuhanan pada zaman Rig Weda adalah henoteisme,
kathenoteisma, politeisme, monoteisme, dan monism. Agama Rig Weda (Rig Vedic Religion) percaya kepada
banyak Dewa, tapi ada satu Dewa tertinggi. Dewa tertinggi menjadi pemimpin dari
dewa-dewa yang lain. Bangsa Arya terdiri ndari banyak suku maka Dewa tertinggi
bagi satu suku kadangkala berbeda dengan satu suku yang lain. Dewa Tertinggi
ini diyakini adalah pencipta, pemelihara, pelindung, pemberi kebahagiaan, dan
juga kekayaan kepada manusia. Seperti misalnya pemujaan kepada Surya, Usha,
Indra, Parjana, Wayu, dan lain-lain.
Dalam Rig Weda ada dua dewa yang tertua dari dewa-dewa
lainnya yaitu Dyaus ada;ah dewa yang bersinar di sorga dan Parthiwi adalah dewi
bumi. Kemudian, kedua dewa ini digeser atau digantikan kedudukannya oleh Waruna
dan Indra. Dewa Waruna adalah Dewa yang paling mulia. Ia adalah dewa atau
pemimpin dari para Dewa. Dewa Wruna adalah Dewa Matahahu, sekaligus Penguasa
Alam Semesta. Indra adalah Dewa yang paling terkenal dan yang paling banyak di
puja. Hampir seperempat dari seluruh jumlah nyanyian pemujaan di dalam kitab
Rig Weda Samhita, di tujukan kepada dewa Indra.
Selain percaya kepada Dewa-dewa, Agama Rig Weda juga
percaya adanya leluhur. Ada beberapa kepercayaan terhadap leluhur dalam kitab
suci Rig Weda (X. 15), sebagai berikut:
ü Leluhur pergi kesorga
ataupun neraka berdasarkan yajna yang di persembahkan (karma).
ü Leluhur tinggal bersama
para Dewa.
ü Leluhur ikut minum soma
(minuman keras) bersama para Dewa.
ü Leluhur ikut menikmati
persembahan (swada).
ü Kedudukan leluhur sama
dengan Dewa (Griswold, 1999:520-522).
Walaupun mulanya Agama Rig Weda dipandang sebagai
politheisme, tetapi pendapat ini diluruskan. Mengingat pada Sloka terakhir dari kitab Rig Weda jelas sekali
menunjukan bahwa kepercayaan agama Rig Weda mengarah ke kepercayaan
monotheisme. Hal ini ditemukan dalam kitabsuci Rig Weda, Mandala X, yang
menyatakan bahwa “yang ada” berasal dari “yang tidak ada”, yang “nyata” muncul
dari “yang tidak nyata”. Rig Weda percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi
juga percaya dengan banyak Dewa dan manifestasi-Nya.
2) Ritual
Upacara soma merupakan pusat dari ritual Agama Weda.
Upacara Soma adalah upacara persembahan Minuman yang dapat menyenangkan hati
(memabukan) pada Dewa.
Ciri lainnya dari zaman ini juga dikenal adanya
binatang-binatang yang disucikan, tetapi ada juga yang dikurbankan seperti:
sapi, kambing, kerbau, binatang-binatang buruan, ular dan burung-burung.
Mengenai kurban binatang dijelaskan bahwa dalam kitab suci Rig Weda terdapat
mantra-mantra yang di ucapkan pendeta sebelum upacara kurban dilakukan, sebagai
berikut:
“Engkau
tidak disakiti, engkau tidak dibunuh, engkau tidak mati, engkau akan pergi ke
tempat para dewa melalui jalan yang benar dan indah” (Griffith, 1999:229; Puja,
1979:334).
“Engkau
akan dijemput dengan kereta indah, yang ditarik oleh kuda milik Dewa Indra,
kuda milik Dewa Maruta, dan kuda milik Dewa Aswin, dan para dewa juga akan
menemanimu pergi ke sorga”(Puja, 1979:334).
Berdasarkan sloka di atas maka menurut kitab suci Rig
Weda, upacara kurban binatang bertujuan untuk:
Ø
Membantu
binatang kurban untuk mendapatkan sorga tempat kediaman para Dewa (Puja,
1979:338)
Ø
Membebaskan
dosa-dosa binatang itu sehingga bisa menjelma kembali menjadi makhluk yang
lebih mulia (Sugiarto, 1982:72).
Ø
Membebaskan
dosa-dosa orang yang melaksanakan yajna.
Pada zaman Rig Weda juga dilaksanakan upacara kematian.
Ada dua jenis upacara kematian, yaitu dengan jalan dibakar (Agni Dagdha) dan dikubur (Anagni Dagdha). Selain itu, agama Rig
Weda juga melaksanakan upacara yajna kepada leluhur. Catatan penting lainya
dari agama Rig Weda bahwa agama ini tidak mengajarkan pembuatan dan penyembahan
patung. Rig Weda juga tidak menganjura membuat tempat pemujaan atau kuil,
mereka sembahyang memuja Tuhan di tempat terbuka atau altar.
- Zaman Weda Akhir (Leter Vedic Period)
Pasca berakhirnya zaman Rig Wea, orang-orang Arya
memasuki kondisi kehidupan yang berbeda baik dalam hal agama, sacial, budaya,
dan ekonomi. Ini merupakan pembabakan sejarah kedua dalam agama Weda (Vedic Religion). Zaman weda akhir
berlangsung sekitar tahun 1,000 SM-600 SM. Petunjuk keagamaan orang Arya pada
zaman ini dapat dijumpai dalam kitab suci Sama
Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda, termasuk
juga kita-kitab Brahmana, Aranyaka dan
Upanisad.
Pada zaman Sama Weda, kehidupan masyarakat Arya semakin
membaik. Bangsa Arya sudah berhasil menguasai wilayah India Utara dan India
timur. Pada zaman ini sistem kerajaan sudah mulai terbentuk. Agama Weda juga
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sehingga kedudukan
pendeta menjadi sangat penting pada zaman ini. Sistem pelapisan sosial ini
didasarkan pada konsep Catur Warna yang
telah disebutkan dalam Rig Weda. Pada zaman ini, catur warna yidaklah berdasarkan atas profesi, tetapi berdasarkan
keturunan atau warisan.
Mantra-mantra Rig Weda yang semula hanya dibaca pada
waktu upacara keagamaan, pada zaman sama wedasudah mulai dinyanyikan. Melagukan
mantra-mantra Rig Weda dalam pelaksanaan upacara yajna adalah ciri utama zaman
sama weda ini. Nyanyian-nyanyian suci itu dimodifikasikan menjadi bentuk kitab
suci yang di sebut kitab suci Sama Weda. Setelah itu mulailah dikumpulkannya sloka-sloka suci lainnya dalam bentuk
baru yang disebut kitab suci yajur weda. Zaman ini juga disebut zaman yajur
weda. Zaman yajur weda adalah terjadinya perubahan kehidupan social ekonomi
bangsa Arya.
Kitab suci yang berisikan petunjuk-petunjuk untuk
melaksanakan setiap upacara yajna lengkap
dengan mantra-mantra pemujaannya inilah yang disebut Yajur Weda. Yajur weda
dibagi menjadi dua bagian penting, yakni Krishna
Yajur Weda (Yajur Weda Hitam) dan Shukla
Yajur Weda (Yajur Weda Putih).
Kedudukan yajna pada zaman ini sangat penting(Sharma,
2001:59). Ada beberapa jenis yajna yang dilaksanakan zaman ini, antara lain Gosawa, Rajasuya, Wajapeya, Goghana,
Caturmasya, Nirruddha Pasu Bandha, Maduparka, Gawamayana, Sarwamedhayajna,
Naramedhayajna, Aswamedhayajna, dan Homa
atau Agnahotra. Sementara itu, yajna-yajna yang lain secara umum
bertujuan untuk:
a. Memohon kepda para dewa
agar hukum alam (rta) berfungsi sebagaimana mestinya, agar tanah menjadi subur,
dan agar dewa tidak murka;
b. Menyenangkan hati para dewa
sehingga berkenan memberi anugrah, keuntungan, kemenangan dan kekuatan.
c. Mendapat pengampunan dosa.
Ada beberapa hal yang menjelaskan pentingnya kedudukan
pendeta pada zaman weda ini sebagai berikut:
1. Pendeta memiliki kekuatan
magis
2. Pendeta memberikan kekuatan
magis atau gaib
3. Pendeta berfungsi untuk
mengesahkan kedudukan raja
4. Pendeta mendoakan
kemenangan raja
5. Hanya pendeta yang dapat
melakukan upacara secara tepat dan benar
6. Pendeta adalah perantara
manusia dengan para dewa
7. Salah dalam pelaksanaan yajna,
berati tujuan tidak tercapai
Mengingat pentingnya upacara yajna pada jaman ini
sehingga yajna juga diyakinji mampu
mengantarkan manusia menuju sorga.
- Zaman Atharwa Weda
Secara tradisi, dari zaman Sathapatha Brahmana sampai dengan zaman Manu Samhita atau zaman Smrti,
kitab suci Atharwa weda tidak diakui sebagai kitab suci oleh para pendeta.
Pada zaman itu kitab suci yang diakui hanya Rig Weda, Sama Weda, dan Yaju Weda,
yang disebut juga kitab suci Trayi Weda atau
Trayi-Widya, berarti tiga kitab suci
Weda. Kemudian pada zaman Maurya yaitu zaman kebangkitan Agama Hindu (Rivival of Hinduism) pada zaman
Brahmana, maka Athawa weda di akui sebagai bagian dari Weda. Seja zaman inilah
kitab suci Weda disebut Catur Weda.
Hal ini terjadi karena Kautilya atau Chanakya – Perdana
Mentri dari raja Chandragupta Maurya – yang percaya dengan ilmu gaib dan ilmu
hitam, mengakui keberadaan kitab Atharwa Weda sebagai kitab suci. Disamping
itu, ada juga mantra untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan
mantra-mantra mengenai pengobatan atas suatu penyakit (Atharwa Weda Samhita, XIX.1.1-72; Mani, 1984:72).
Kitab suci Atharwa Weda juga menyebutkan mantra-mantra
yang berisi ilmu sihir untuk melawan ilmu hitam, untuk melindungi orang sakit,
dan mantra untuk melawan penyakit itu sendiri. Besar kemungkina kitab suci
Atharwa Weda merupakan warisan dar keyakinan orang-orang Dravida karena
kebanyakan isinya merupakan tradisi yang umum dilaksanakan oleh orang-orang
Dravida. Dengan demikian diterimanya kitab suci Atharwa Weda sebagai bagian
dari Catur Weda Samhita menunjukan
terjadinya sinkritisme agama Arya dan Dravida.
- Keadaan Agama Hindu pada Zaman Weda Akhir (Leter Vedic Period)
Selama upacara yajna berlangsung, keempat kitab suci Weda
(Catur Weda) diucapkan dan dinyanyikan. Mantra-mantra dalam kitab suci Rig Weda
di ucapkan oleh pendeta yang di sebut Hotri.
Mantra-mantra dalam kitab suci Sama Weda dinyanyikan oleh pendeta yang
disebut Udgatri. Mantra-mantra dalam
kitab suci Yajur Weda dinyanyikan oleh pendeta yang disebut Adwaryu. Sementara itu, mantra-mantra
dalam kitab suci Atharwa Weda di ucapkan oleh pendeta yang disebut Brahmana.
Pada zaman ini ada lebih dari sepuluh macam yajna besar
yang harus dilakukan. Salah satu yang penting diketahui adalah upacara Caturmasya Yajna. Yajna ini dilakukan untuk memuja Dewa Waruna. Pada upacara ini
pendeta tertentu mempersembahkan Hawi, kedalam
api pemujaan yang disebut havanyagni atau
homa atau agnihotra, baik diselatan maupun di utara altar pemujaan. Setelah
itu, pendeta memanggil istri dari si pembuat yajna dan menyuruhnya untuk
menyatakan dosa yang pernah dilakukan. Upacara Caturmasya ini disebut dalam Yajur Weda, tetapi tidak dilakukan
pada zaman Rig Weda.
Ini berarti bahwa zaman yajur weda muncul ajaran etika
pengakuan dosa. Etika pengakuan dosa tidak ditemukan dalam Rig Weda. Dalam Rig
Weda hanya ditemukan istilah pertobatan. Catatan penting lainya dari zaman Weda
akhir adalah mengenai atribut upacara. Dalam kitab suci yajur weda, Mandala X, disebutkan bahwa umat yang
melaksanakan upacara harus memakai mehkala
(sejenis selempot di bali) yang dililitkan di sekitar pinggang, dan juga
memakai ushnisha, yaitu sejenis destar ataupun semacam “ketu” yang dipakai disekitar atau di
atas kepala. Disamping itu, juga disebutkan bahwa dalam pelaksanaan sebuah yajna,
pera pendeta mengenakan pakaian putih, kuning, atau merah (Datta, 19950).
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dijelaskan
karakteristik agama Weda (Vedic Religion)
(Kundara, 1968:34; Sharma, 2001:50), sebagai berikut:
1. Percaya adanya banyak dewa,
tetapi juga percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Percaya adanya leluhur
3. Pentingnya pembacaan kitab
suci Weda
4. Pentingnya melaksanakan
upacara yajna kurban
5. Pentingnya melaksanakan
upacara kematian
6. Pentingnya kedudukan
pendeta
7. Tidak menyembah patung
8. Tidak membuat tempat ibadah
(kuil)
9. Agama Weda bersifat
optimistic, agama rasa, agama kepuasan hati, dan bhakti
10.
Moksa
dan sorga hanya dapat dicapai melalui yajna (Rajeev, 1990:17)
Kata ‘Hindu’ atau ‘Hinduisme’ dipakai oleh
orang-orang hindu sekarang, istilah ini telah memiliki sejarah sendiri.
Mula-mula istilah ini diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke India
seperti, Yunani, Arab, dan Persia. Ada dua zaman yang dibahas dalam makalah ini
yaitu zaman Lembah sungai Sindhu dan zaman Weda.
Zaman Peradaban lembah sungai Sindhu dibangun oleh
penduduk asli India yaitu bangsa Dravita yang sudah mempunyai peradaban yang
tinggi, bahkan sebelum bangsa Arya memasuki India sekitar tahun 2.000 SM. Diketahui
bahwa penduduk asli India itu adalah suku bangsa Dravida yang mempunyai
ciri-ciri ; berkulit hitam, berhidung pesek, berambut kriting, dan berbadan
pendek. Zaman Peradaban Lembah Sungai
Sindhu berlangsung sekitar 3.000 SM – 2.000 SM.
Peradaban Lembah Sungai Sindhu dilanjutkan oleh
orang yang menyebutkan dirinya bangsa Arya. Secara fisik, orang Arya adalah
orang berkulit putih, tinggi, berhidung mancung, dan sangat aktif. Bangsa Arya
dianggap sebagai pembawa dan penyebar agama Weda (Vedic Religion) di india. Zaman Weda berlangsung sekitar 2.000 SM –
1.000 SM.
Kata “Weda” berasal dari urat kata “Wid” yang
artinya “pengetahuan” atau “mengetahui”. Weda diyakini bersumber dari wahyu
Tuhan yang di dengar langsung oleh para Maharsi. Pengajaran dan pewarisannya dilakukan
secara lisan (guruparampara). Weda
berjumlah empat yakni Rig Weda Samhita, Sama Weda Samhita, Yajur Weda
Samhita, dan Atharwa Weda Samhita. Kelompok Weda pertama di sebut Weda Sruti, dan yang terakhir disebut Weda Smrti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar