Om
Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan paper dengan
judul “PURA
KAWITAN PASEK GELGEL” tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ni Made
Sukrawati, S,Ag, M.Si, selaku dosen mata kuliah Acara Agama 1 di Fakultas Pendidikan
Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia
Denpasar.
Adapun tujuan penulis mengangkat judul ini yaitu
untuk memberikan informasi tentang filosofi dari Pura Kawitan Pasek Gelgel
serta etika dan kaitannya dengan pendidikan Agama Hindu . Selain juga untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Acara Agama 1. Besar harapan penulis, paper ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Paper ini sungguh sangat jauh dari sempurna, maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan paper ini.
Terima
kasih.
Om
Shantih, Shantih, Shantih, Om
Denpasar, Desember 2012
Penulis,
Dewasa ini, keberadaan pura khusunya
di Bali sedemikian banyaknya. Dimana masing
– masing
pura tersebut masuk kedalam kategori Pura tertentu. Pura itu sendiri adalah
tempat suci umat Hindu untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu Pura
juga merupakan benteng umat Hindu yang bersifat rohaniah agar terlepas dari
pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan ini.
Sebagai contoh, pura yang dikelompokkan berdasarkan
fungsinya yaitu : 1.) Pura jagat (umum) adalah pura yang berfungsi sebagai
tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala prabhawaNya.
2.) Pura Kawitan (khusus) adalah pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha
dewata (roh suci leluhur).
Dalam paper ini, penulis akan
memaparkan mengenai sejarah dari berdirinya Pura Kawitan Pasek Gelgel serta
nilai etika yang dapat kita lihat dan hubungannya dengan pendidikan Agama Hindu
di zaman sekarang ini.
Sedikit
tentang pemerintahan Raja-raja Gelgel yaitu, Dalem Ketut Ngulesir merupakan
raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun
(tahun 1320-1400). Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan
gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan. I
Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Dalem Sagening dinobatkan
menjadi raja pada tahun 1580 M. Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai
kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade
meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan
Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di
bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara para
pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga
daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel
yang dahulu.
Dari latar belakang yang dikemukakan diatas, dapat
ditemukan rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana
sejarah berdirinya Pura Kawitan Pasek Gelgel?
1.2.2 Bagaimana etika dalam pelaksanaan upacara di pura Kawitan Pasek
Gelgel dan hubungannya dengan Pendidikan Agama Hindu?
Dari
rumusan masalah yang dipaparkan diatas, didapat tujuan penulisan sebagai
berikut :
1.3.1 Untuk mengetahui sejarah berdirinya Pura Kawitan Pasek Gelgel.
1.3.2 Untuk menyampaikan tentang etika dalam pelaksanaan upacara di pura
Kawitan Pasek Gelgel. Dan hubungannya dengan Pendidikan Agama Hindu.

|
Pura Dasar Bhuana Gelgel
Pura Dasar
Buana Gelgel Berkonsep Kaula Gusti Menunggal, Penghormatan pada Empu Ghana.
Pura Dasar
Bhuana di Desa Gelgel, Klungkung merupakan salah satu peninggalan sejarah
Klungkung yang dikenal sebagai pusat kerajaan di Bali. Selain sebagai
satu-satunya pura dasar yang ada di Bali, pura ini juga memiliki keunikan dan
fungsi khusus. Seperti apa keunikan dan fungsi dari keberadaan pura ini?
Pura Dasar Bhuana terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Dari
Denpasar, berjarak sekitar 42 kilometer. Pura ini berdiri di atas lahan yang
cukup luas. Berdiri megah dan tampak asri di pinggir jalan utama Gelgel-Jumpai.
Sebagimana umumnya Pura-pura di Bali, Pura Dasar Bhuana memiliki tiga mandala
-- Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. Di bagian Nista Mandala
terlihat keangkeran pohon beringin besar yang tumbuh sejak berabad-abad
lamanya.
Masuk ke Madya
Mandala, pamedek bisa melihat bangunan-bangunan berupa Pelinggih Bale Agung.
Pelinggih ini tampak unik karena panjangnya mencapai 12 meter. Bersebelahan
dengan Bale Pesanekan dan pelinggih tempat berstanakan seluruh petapakan dan
pratima Pura-pura yang ada di Desa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakan
itu tedun dan distanakan saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba) yang
dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat.
Sementara di
Utama Mandala terdapat belasan pelinggih di antaranya Meru Tumpang Solas, Meru
Tumpang Telu, Padma Tiga dan banyak lagi pelinggih lainnya. Dalam setahun, ada
dua wali/ karya digelar yakni wali bertepatan dengan Pamacekan Agung, serta
wali/ karya Padudusan yang jatuh pada Purnama Kapat.
Pura Dasar
Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit)
pada tahun Caka 1189 atau tahun 1267 Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang
Kahyangan Jagat di Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan
dibangun untuk menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan
dikelompokkan berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat
pemujaan di masa kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang
Kahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari
ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.
Pura atau
Ashram yang dibangun pada tempat di mana Maharsi melakukan yoga semadi adalah
sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di
Karangasem. Silayukti diyakini sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian
pula dengan Pura Dasar Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan
terhadap Empu Ghana. Di pura inilah Mpu Ghana yang dikenal sebagai seorang
Brahmana yang memiliki peran penting perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga
semadi (berparahyangan).
Selain sebagai
Dang Kahyangan, pura yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura,
Klungkung itu juga merupakan pusat panyungsungan catur warga yang berasal dari
soroh/ klan di antaranya soroh/ klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra Sanak
Sapta Rsi), soroh Pande (Mahasamaya Warga Pande) dan klan Brahmana Siwa.
Semuanya merupakan pengabih Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Masing-masing
warga memiliki panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas -- panyungsungan Para
Arya dan Satria Dalem. Meru Tumpang Tiga -- panyungsungan Keturunan Mpu Geni
yang menurunkan trah Pasek. Meru Tumpang Tiga sebagai penyungsungan warga
Pande. Padma Tiga yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia
(sembilan), panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh yang ada di
dalamnya, diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengan konsep
bersatunya semua klan yang ada di Bali dengan konsep ''kaula gusti menunggal''.
Pura yang
dibangun di atas areal cukup luas itu, juga menjadi panyungsungan Subak Gde
Suwecapura. Di antaranya Subak Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu.
Panyungsungan dilakukan saat Karya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang
bertepatan dengan Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana
di-empon Desa Pakraman Gelgel yang terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas
-- Desa Gelgel, Desa Kamasan dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat
dengan keberadaan Keraton Suwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel.
Namun, jika melihat tahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel
diperintah raja pertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakan
warisan maha-agung ini didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi.
Sebagaimana
sejarahnya, Pura Dasar Bhuana erat kaitannya dengan Mpu Ghana yang hidup pada
akhir abad IX Masehi. Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan
Wilwatika sebagai bentuk penghormatan terhadap Mpu Ghana. Empu Ghana merupakan
seorang brahmana dengan peran sangat besar terhadap perkembangan agama Hindu di
Bali.
Empu Ghana
adalah orang suci yang berasal dari Jawa. Tiba di Bali pada masa pemerintahan
(suami-istri) Udayana Warmadewa dan Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan
memerintah Bali pada tahun Caka 910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011
Masehi). Empu Ghana merupakan brahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur hidup
menjalankan ajaran Sukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta (tidak
menikah). Kaitannya setelah berdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini dipakai
sebagai merajan keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis berada di timur
laut Keraton Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapura berdiri di Banjar
Jero Agung, Gelgel.
''Letak pura
ini berada di hulu Keraton Suwecapura. Dulunya, disungsung keluarga Raja Gelgel,''
tutur Agung Anom Wijaya. Pura ini memang erat kaitannya dengan keberadaan
Kerajaan Suwecapura. Sejumlah situs peninggalan Kerajaan Suwecapura masih tetap
dilestarikan di pura ini sampai sekarang.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut
dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan
pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap
berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan
rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem
pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di
dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang
berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta
biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk
keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang
pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.
SISTEM KEPEMIMPINAN
Golongan ksatria memegang
pimpinan di dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang
pemerintahan dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan
keterangan golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya
memerintah, mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di
bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan Bali kuna.
Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau
"Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung
Widia, I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.
Untuk mengatur dan mengendalikan
segala kelakuan dan kehidupan masyarakat diperlukan adanya hukum. dalam
masyarakat Majapahit berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama
Manawa Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang
Agama.
KEHIDUPAN KEAGAMAAN.
Pengaruh agama Hindu dalam
kehidupan masyarakat Bali sangat besar. Hampir semua aspek kehidupannya
dipancari oleh ajaran-ajaran agama Hindu sehingga kehidupan masyarakatnya dapat
dikatakan bersifat keagamaan atau sosial religious.
Kepercayaan agama Hindu yang
terpenting adalah kepercayaan yang disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang
mencakup :
- Percaya akan adanya satu Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti mempunyai tiga wujud atau manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu memelihara dan Siwa mempralina.
- Percaya terhadap konsep atman (roh abadi).
- Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa).
- Percaya terhadap hukum karmaphala (adanya buah dari setiap perbuatan).
- Percaya akan adanya moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).
Pengaruh kepercayaan dalam
masyarakat juga amat besar. Salah satu wujud dari pengaruh ini tampak dalam
konsepsi dan aktifitas upacara yang muncul dalam frekwensi yang tinggi dalam
kehidupan masyarakat Bali, baik upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat
maupun oleh komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam
lima macam yang disebut Panca yadnya, yaitu :
- Dewa Yadnya, merupakan upacara-upacara pada putra maupun Pura Keluarga, yang ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi Hyang Widhi.
- Rsi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang-orang suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
- Pitra Yadnya, merupakan upacara yang di tujukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.
- Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat mengganggu.
- Manusa Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
BIDANG PENDIDIKAN, KESENIAN, KESUSASTRAAN
Pendidikan ketika ini mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat
tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan elite atau inisiatif pribadi.
Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal-hal
yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan.
Pura Dasar Gelgel
Orang-orang yang memberikan pendidikan terdiri dari orang-orang Brahmana.
Orang-orang yang memberikan pelajaran disebut Sang Guru. Orang yang belajar
disebut "sisya". Dalam proses belajar di sebut "aguru"
sedangkan proses memberikan pelajaran disebut "asisia". Sebagai
seorang sisya harus mentaati peraturan-peraturan yang ketat.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1523 M) banyak warganya mengungsi ke
Bali dengan memindahkan segala yang dapat di bawa, termasuk seni dan budaya
dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama
zaman keemasan pemerintahan Dalem Batur Enggong (1460-1550). Hal in disebabkan
raja menaruh perhatian besar dan memberikan pengayoman terhadap perkembangan
kesenian khususnya seni tari di samping pemerintahan yang aman dan tentram.
Dalam masa Pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali, naskah-naskah lontar
banyak dibawa dari Jawa ke Bali. Kalau kiranya yang demikian tidak terjadi,
maka tidak akan banyak lagi yang tinggal dari kesusastraan Jawa Kuna.
Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di Jawa naskah Kuna kurang
mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.
Pura Segening Gelgel
Setelah Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun
1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582
mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3. Amerthamasa, 4. Gigateken, 5.
Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas
dan 11. Kakansen. Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta,
Rakkriyan Manguri mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang :
Bali Sanghara.
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
- Pura Purancak di Jembrana,
- Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
- Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
- Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan.
- Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
- Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.
Periode Gelgel.
Karena
ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan
oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan
dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl’gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode
Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua
adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana
dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan
dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu
Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu
Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja
terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686). Gelgel: kerajaan
di pulau Bali yang terbentuk setelah runtuhnya Majapahit. Kerajaan ini
menganggap dirinya sebagai penerus sejati Majapahit.
Struktur Pemerintahan
Raja sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum
bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau
pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan
yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan
antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan
suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari
raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta
Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah
keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang
Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri
Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah
Komala.
Pemerintahan Raja-Raja Gelgel
Dalem Ktut
Ngulesir Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih
kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa
pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat
Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang
padaAsta Brata. Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi
penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum
mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda
penghargaan wangsa “Sanghyang” dengan sebutan “Sang” kepada masyarakat desa
Pandak, di mana mereka bermukim dahulu.
Pada masa
pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar,
dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan
Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja
yang lain serta masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung,
Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).
Dalem Batur Enggong
Dalem Batur
Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna
Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh
almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi
untuk kepentingan kerajaan.
Dalem dapat
mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial
politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit
tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan
sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka
dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti
Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.
Dalem Bekung
Setelah
wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang berlaku, baginda
digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut
Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh
para paman dan Patih Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong
Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan,Dewa
Anggungan dan
I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu
Dalem Waturenggong.
Dalem Sagening
Dalem
Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung
dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat
bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan
kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia
putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan
kedudukan Demung.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
3. Kyai Barak Panji, beribu dari
Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa
di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan
Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
Dalem Anom Pemahyun
Setelah Dalem
Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi
Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar
dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan
pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.
Dalem Dimade
Setelah Dalem
Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi
susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang
sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung
adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita
tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai
demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.
Kryan Agung Maruti
Kebesaran
kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam
sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka
kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali
tidak lagi merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali
mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil
yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah
kekuasaan kerajaan Gelgel yang dahulu.
Aspek Sosial Budaya
Aspek Sosial Budaya
Struktur Pemerintahan
Raja sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum
bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau
pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan
yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan
antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan
suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari
raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta
Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah
keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang
Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri
Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah
Komala.
Pemberontakan
Di Nusa Penida, Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan
Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di
Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di
Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak
sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel
bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit
pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan
senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam
perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu.
Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem
Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk
membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.
Perlawanan
Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari
rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem
Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan
beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya
kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan
ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik
kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai
Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari
Dalem Di Made.
Pemberontakan
Sagung Maruti, Setelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya
Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa
kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak
dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made
terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung
Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.
Hal inilah
yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan
pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta
putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300
orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru. Hampir
selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi
ke Guliang (Gianyar).
Sementara
Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan
beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan,
Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan
wafatnya Dalem Di Made di keraton Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made,
membuat para pembesar kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan
kepada dinasti Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton
Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun
strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel.
Penyerangan
dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya
tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran
kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra
Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari
tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di
Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan
kemerdekaannya
Runtuhnya Kerajaan Gelgel
Bali tidak
dapat lepas dari kejayaan masa lalu. Kerajaan Gelgel adalah satu diantaranya.
Masa keemasan Bali pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong tidak dapat
dipandang sebelah mata. Sosiokultural masyarakat Bali saat ini merupakan salah
satu warisannya.
Masa
Pengungsian, Kerajaan Gelgel di masa senja di mulai dari penggulingan kekuasaan
raja oleh I Gusti Agung Maruti pada tahun 1686 Masehi. Setelah dikuasainya
kerajaan Gelgel oleh I Gusti Agung Maruti maka Dalem Di Made (Putra Prami Dalem
Sigening) bersama dua putra beliau yang masih sangat muda yaitu Dalem Pamayun
dan Dalem Jambe dengan diiringi oleh pengawal – pengawal setia beliau mengungsi
ke daerah Guliang. Adapun mereka yang mengawal beliau adalah keturunan dari : I
Gusti Kekon Tubuh, I Dewa Pamayun, Sang Takmung dan warih Bagawanta Pedanda
Wayahan Bun (beliau gugur saat pemberontakan I Gusti Agung Maruti ). Dalam masa
pengungsian Dalem Di Made wafat di daerah Guliang. Sebagai rasa hormat yang
teramat besar oleh rakyat , maka setelah upacara Palebon beliau didirikanlah
sebuah pura ” Pura Dalem Agung ” di wilayah Guliang. Untuk menghindari
pengejaran oleh para pengikut I Gusti Agung Maruti, kemudian Dalem Pamayun dan
Dalem Jambe beserta pengiring beliau menuju daerah Bukit tepatnya daerah Kulub
Tampaksiring Gianyar.
Berikut
beberapa peninggalan Kerajaan Gelgel :
1. Pura Segening Gelgel
1. Pura Segening Gelgel
2. Kertha Gosa, Kertagosa adalah
kompleks bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Klungkung
pertama, Dewa Agung Jambe, pada abad ke-17. Dewa Agung Jambe adalah putera ke-2
dari Dalem Dimade, raja terakhir di kerajaan Gelgel yang juga disebut Suweca
Pura. Setelah Dewa Agung menjadi raja Klungkung, maka dia membuat istana (puri)
Klungkung yang diberi nama Semara Pura yang memunyai makna “tempat cinta kasih
dan keindahan”. Di puri inilah terdapat kompleks Kertagosa yang terdiri dari
dua bangunan pokok, yaitu bangunan Taman Gili dan bangunan Kertagosa.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah: (1) sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; (2) sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali; dan (3) sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah: (1) sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; (2) sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali; dan (3) sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Pada masa
pemerintahan Raja Dewa Agung Putra Djambe Belanda melakukan penyerangan secara
besar-besaran (selama tiga hari). Penyerangan itu mengakibatkan Puri Semara
Pura hancur. Hanya ada beberapa bangunan yang tersisa antara lain bangunan
Kertagosa, Taman Gili dan Pemedal Agung (pintu gerbang Puri). Dalam penyerangan
yang kemudian dikenal sebagai “Persitiwa Puputan Klungkung” ini (28 April 1908)
Dewa Agung Putra Djambe dan para pengikutnya gugur.
Setelah
dikuasai oleh Belanda, Kertagosa tetap difungsikan sebagai balai sidang
pengadilan. Pada tahun 1930 lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman
Gili direstorasi oleh para seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi
tersebut, lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan yang semula terbuat
dari kain dan parba diganti dan dibuat di atas eternit, lalu dibuat lagi sesuai
dengan gambar aslinya. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Struktur Bangunan
Bangunan
Kertagosa dan Taman Gili terdiri atas dua lantai.. Atap bangunan terbuat dari
ijuk dan dilengkapi dengan undak (tangga naik). Atap tersebut diberi tambahan
yang berupa hiasan patung dan relief (mengelilingi bangunan). Di samping itu
pada langit-langit (plafon) diberi tambahan hiasan berupa lukisan tradisional
bermotif wayang yang dilukis dengan gaya Kamasan. Lukisan yang ada di
langit-langit bangunan Taman Gili berisi tentang cerita Sutasoma, Pan Brayut
dan Palalintangan. Sedangkan, pada langit-langit bangunan Kertagosa lukisannya
mengambil cerita Ni Dyah Tantri, Bima Swarga, Adi Parwa dan Pelelindon. Tema
pokok dari cerita-cerita itu adalah parwa, yaitu Swaragaronkanaparwa yang
memberi petunjuk hukum kerpa pahala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang
dilakukan manusia selama hidupnya) serta penitisan kembali ke dunia karena
perbuatan dan dosa-dosanya.
Cerita-cerita yang Terdapat pada
Lukisan
1.Sutasoma
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.
2.PanBrayut
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.
3.Palalintangan
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.
4.NiDyahTantri
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.
5.BhimaSwarga
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.
6.Pelelindon
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.
2.2 Etika dalam pelaksanaan upacara di pura Kawitan Pasek Gelgel dan
hubungannya dengan Pendidikan Agama Hindu
Demikian tadi diatas telah
dipaparkan mengenai sejarah berdirinya Pura Dasar Bhuana Gelgel. Wali atau
upacara piodalan di Pura Dasar Bhuana Gelgel ini jatuh pada Purnama Kapat. Biasanya sebelum melakukan
persiapan untuk upacara piodalan ini dilaksanakan paruman atau pesangkepan
telebih dahulu oleh para laki-laki yang menjadi kepala keluarga pengempon pura.
Untuk selanjutnya menentukan besarnya iuran yang dikenakan, dan pelaksanaan
upacara ngayah. Seminggu sebelum upacara
piodalan dilaksanakan upacara Ngayah, yang dilaksanakan oleh warga penyungsung
Pura. Mulai dari laki-laki dan juga para perempuan. Untuk laki-laki misalnya ngayah
membuat taring, anyaman dari daun kelapa (klabang), katik dari bambu, klakat
dan lain sebagainya.
Sementara untuk perempuan misalnya membuat canang,
sampian dari janur, perlengkapan untuk membuat banten, dan lain-lain. Ngayah
ini dilakukan setiap hari sampai puncak acara piodalan tiba. Para perempuan
biasanya ngayah dari pagi kira-kira pukul 09.00-15.00 sore. Dalam pelaksnaan
ngayah ini terdapat nilai pendidikan agama Hindu yang terlihat, yaitu dimana
Pura selain fungsinya sebagai tempat sembahyang juga bisa dijadikan tempat
untuk belajar mejejahitan, membut canang, membuat banten bagi kaum perempuan
yang mungkin awalnya pengetahuannya masih kurang. Dan biasanya dalam setiap pelaksanaan upacara
piodalan ini masing-masing kepala keluarga pengempon atau penyungsung pura
dikenakan iuran atau yang disebut juga urunan yang besarnya berubah setiap
pelaksanaan piodalan yang disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Di areal
pura pun disediakan kotak dana punia bagi para pamedek yang ingin berdana
punia.
Kemudian saat
upacara piodalan tiba, semua penyungsung Pura atau pamedek tangkil dengan
membawa sesajen berupa banten dan sarana persembahyangan. Upacara
persembahyangan dilakukan secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang
pinandita (pemangku). Setelah pelaksanaan upacara selesai dilaksnanakan pula
upacara ngayah kembali keesokan harinya, yaitu untuk membersihkan areal pura
dari sampah-sampah yang dibuang selama pelaksanaan upacara wali atau piodalan.
Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari
Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189 atau tahun 1267
Masehi. Puraini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di Bali. Pada
masaKerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormatijasa-jasa
pandita (guru suci). Pura Dang Khayangan dikelompokkan berdasarkan sejarah. Di
mana, pura yang notabene tempat pemujaan dimasa kerajaan di Bali, dimasukkan ke
dalam kelompok Pura DangKahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak
bisa dilepaskandari ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.Pura atau Ashram dibangun
pada tempat di mana Maharsi melakukan yogasemadi. Itu dilakukan sebagai bentuk
penghormatan kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di Karangasem.
Silayukti diyakini sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan
Pura Dasar Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Empu
Ghana. Di pura inilah Mpu Ghana yang notabene seorang Brahmana yang memiliki
peran penting perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi (berparahyangan)
. Di masing-masing pura kawitan memiliki tata cara pelaksanaan piodalan yang
berbeda-beda, sesuai dengan Desa, Kala, Patra tempat beradanya pura tersebut.
Dari pemaparan materi diatas dapat
disampaikan saran sebagai berikut :
Pentingnya pemahaman kepada kita
semua untuk bisa menjaga kesucian dan keluhuran dari pura kawitan sebagai
tempat unutk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai tempat
untuk memujaAtma Sidha dewata (roh suci
leluhur).
http://semeton.blogspot.com/2008/03/pura-dasar-bhuwana-gelgel-klungkung.html
Soebandono,
Ktut. Sejarah Pembangunan Pura-pura di
Bali. Denpasar: CV.KAYUMAS AGUNG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar