Selasa, 30 Juli 2013

sejarah evolusi hindu




Om Swastyastu,
            Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah  dengan judul “Peradaban Lembah Sungai Sindhu dan Zaman Weda”,  tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis  mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.Litt. Dr. I Gusti Putu Phalgunadi, M.A, selaku dosen mata kuliah Sejarah Evolusi Hindu di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Adapun tujuan penulis mengangkat judul ini yaitu, untuk  memberikan pemahaman tentang peradaban yang terjadi pada zaman Lembah Sungai Sindhu dan zaman Weda. Selain juga untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Evolusi Hindu. Besar harapan penulis, makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Makalah ini sungguh sangat jauh dari sempurna, maka dari itu penulis  mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Terima kasih.
Om Shantih, Shantih, Shantih, Om

Denpasar,  29 Oktober  2012

Penulis,



DAFTAR PUSTAKA


            Sejarah Evolusi Hindu merupakan ilmu yang secara khusus mempelajari proses pertumbuhan Agama Hindu, perkembangan dan perubahannya yang berlangsung secara perlahan-lahan dari masa kemasa.
          Sebelum kata ‘Hindu’ atau ‘Hinduisme’ dipakai oleh orang-orang hindu sekarang, istilah ini telah memiliki sejarah sendiri. Mula-mula istilah ini diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke India seperti, Yunani, Arab, dan Persia (sekitar abad ke-8 Masehi). Mereka datang ke India melalui jalan daerah Barat-Daya India yang disebut Hindu-Kush, di pegunungan himalaya. Istilah ‘Hindu’ ini, pertama kali dipakai secara resmi di India dalam sebuah prasati yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah kerajaan Vijayanagar di India Selatan pada abad ke-15 Masehi. Istilah “Hindu” digunakan dalam catatan-catatan Raja Acahaemenian dari Iran, kemudian istilah “Hindi” umum dipakai oleh pengarang-pengarang Islam di India pada zaman itu (Klostermaier, 1990:31; Chattopadhyaya, 1970:2).
Peradaban lembah sungai Sindhu dibangun oleh penduduk asli India yaitu bangsa Dravita yang sudah mempunyai peradaban yang tinggi, bahkan sebelum bangsa Arya memasuki India sekitar tahun 2.000 SM. Bukti – bukti sejarah yang ditemukan disepanjang lembah sungai Sindhu, Harappa, dan Mohenjodaro menegaskan hal itu. Agama Bangsa Dravida (Dravida Religon), sedangkan  agama pribumi di India (Aboriginal Religion) (Luniya, 2002:25) mempunyai peranan penting dalam pertemuannya dengan Agama Weda yang dibawa bangsa Arya kemudian. Weda adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para rsi-rsi pada zaman dahulu, kemudian Sastra-sastra ini diteruskan dan diajarkan secara lisan berabad-abad lamanya. Disimpan secara rahasia dalam tradisi perguruan, dan diinterpretasikan seta dikomentari oleh pra Maharsi.
Seiring dengan berjalannya waktu tradisi Weda ini semakin memudar. Sebagian besar tradisi pemujaan danpraktik keagamaan yang bersumber dari Weda itu telah diganti dan dirubah dengan wujud yang lebih modern.



1.2              RUMUSAN MASALAH
            I.2.1 Bagaimana Peradaban Lembah Sungai Sindhu?
            I.2.2 Bagaimana perkembangan Agama Hindu pada Zaman Weda?
           

1.3              TUJUAN PENULISAN
            I.3.1 Menjelaskan tentang Peradaban Lembah Sungai Sindhu.
I.3.2 Menjelaskan tentang perkembangan Agama Hindu pada Zaman Weda







            Pada mulanya, Sejarah India Kuno atau Sejarah Hindu umumnya dianggap sejarah agama Weda orang-orang Arya (Vedic Aryan) saja. Akan tetapi, setelah Sir John Mashall menemukan peninggalan sejarah Harappa dan Mohenjodaro pada akhir abad ke-20, anggapan ini mulai terbantahkan. Penemuan sejarah ini menunjukan adanya bukti-bukti bahwa sebelum kedatangan bangsa Arya, penduduk asli India telah memiliki peradaban sendiri. Kemudian diketahui bahwa penduduk asli India itu adalah suku bangsa Dravida yang mempunyai ciri-ciri ; berkulit hitam, berhidung pesek, berambut kriting, dan berbadan pendek.
            Teori tentang peradaban India Kuno di awali dari penggalian arkeologis di distrik Sind, daerah Larkana (Mohenjodaro) dan Montgomery di distrk Punjab Barat pada tahun 1921. Penggalian ini kemudian dilanjutkan di sepanjang Lembah Sungai Sindhu, bahkan lebih jauh lagi.
            Agama Orang Dravida (Dravidian Religion) atau Agama Lembah Sungai Sindhu (Indus Religion), memberikan sejarah penting bagi sejarah evolusi agama Hindu di India. Kebudayaan Lembah Sungai Sindhu ini secara berangsur-angsur mempengaruhi kebudayaan orang Arya sehinga terjadilah percampuran kebudayaan antara keduanya, walaupun pada akhirnya lebih didominasi oleh agama Weda. Untuk menunjukan pengaruh peradaban Lembah Sungai Sindhu terhadap Agama Weda (vedic Religion) akan diuraikan ciri-ciri penting Agama Pribumi India (Majumdar, 1998:27), sebagai berikut:
  1. Pemujaan Kepada Dewi Ibu (Mother Goddess)
Ciri-ciri yang sangat menonjol dalam Agama Lembah Sungai Sindhu adalah adanya pemujaan kepada Mother Goddess (Dewi Ibu). Mother Goddess ini digambarkan sebagai wanita telanjang dengan posisi mengangkang, tengkurap, terlentang, dan berdiri. Orang-orang yang hidup dilembah sungai Sindhu percaya bahwa Mother Goddess atau kekuatan perempuan (Shakti) merupakan sumber dari semua ciptaan. Selain itu, juga diyakini sebagai Dewi Kesuburan, Penguasa tumbuh-tumbuhan, penguasa dan pemberi kekuatan magis.
  1. Pemujaan Kepada Dewa Purusa (Male God)
Dalam salah satu materai (seal), ditemukan suatu ukiran yang berwujud manusia bertanduk dua memakai ikat kepala, dan dikelilingi beberapa binatang. Wujud ini dianggap sebagai prototype Shiwa sebagai Shiwa Yogeswara. Sementara itu, adanya beberapa binatang yang mengelilinginya menunjukan prototype Shiwa Pasupati atau Dewa penguasa binatang buas. Atribut yang terpenting dari Shiwa Pasupati  adalah bermuka tiga (Tri Muhka) dan memegang senjata Trisula (Tripathi, 1999:21-22).
Wujud orang bermeditasi yang ditemukan di lembah sungai Sindhu sangat sesuai dengan sebutan Shiwa Mahayogi atau Shiwa Yogeswara dalam agama Hindu. Perwujudan Dewa laki-laki (Dewa Purusha) sebagai Dewa Pasupati juga dapat dilihat dari dua buah tanduk dan jata,  yang mengingatkan dengan konsepsi Trisula.
  1. Pemujaan Lingga-yoni (Ithy-Phallicism)
Pemujaan Lingga merupakan penemuan penting dari kebudayaan Lembah Sungai Sindhu. Bukti adanya pemujaan Lingga ini ditandai dengan penemuan batu berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) yang berbentuk kerucut (conical) dan silinder (cylinder). Pemujaan ini memegang peranan penting dalam agama Lembah Sungai Sundhu.
  1. Pemujaan kepada Pohon dan Binatang
Pemujaan kepada pohon ditandai dengan ditemukannya bukti berupa gambar-gambar pohon bersama-sama dengan wujud manusia dengan atribut-atributnya. Ada beberapa pohon yang dilukiskan dalam sebuah materai (seal) antara lain : pohon pipal, beringin, akasia (Luniya, 2002:31). Sementara itu, tanda-tanda adanya pemujaan kepada binatang ditandai dengan adanya gambar-gambar seperti ular, lembu, harimau, kerbau, badak, gajah, dan binatang aneh bertanduk satu (unicorn) (Mahajan, 2002:69). Mengenai pemujaan kepada binatang ini ada beberapa pendapat menjelaskan kemungkinan tujuan dan fungsinya, antara lain : (a) sebagai pemujaan kepada pohon atau binatang itu sendiri (sejenis animisme dan dinamisme); (b) sebagai kendaraan Dewa tertentu; dan (c) sebagai simbol-simbol yang berkaitan dengan Dewa tertentu. Seperti misalnya, lembu sebagai wahana Dewa Shiwa dan harimau sebagai wahana Dewi Durga.
  1. Pemujaan Patung atau Arca (Iconism)
Pemujaan kepada patung merupakan salah satu yang terpenting dalam kebudayaan Lembah Sungai Sindhu yang tidak dikenal dalam agama Weda (Luniya, 2001:33). Bukti adanya pemujaan ini ditandai dengan ditemukannya sebuah patung yang menyerupai seorang yogi, dengan ciri-ciri mata memicing melihat ujung hidung (Mahajan, 2002:63). Boleh jadi, patung ini merupakan perwujudan prototype Shiwa Yogeswara,  seperti juga ditemukan dalam gambar materai-materai lainnya.
  1. Upacara Kuban
Penggalian di situs Harappa dan Mohenjodaro ternyata juga menunjukan adanya bukti-bukti bahwa agama Lembah Sungai Sindhu sudah mengenal adanya upacara kurban. Dalam sebuah materai (seal) yang ditemukan di Harappa terdapat lukisan seorang laki-laki mengangkat sabit (clurit) dan di depannya duduk seorang perempuan dalam sikap menyembah. Sementara itu, penemuan bukti sejarah dari sebuah materai di Mohenjodaro melukiskan: (a) seorang pemuja dengan sikap menyambah; (b) disebelah pemuja tersebut ada seekor binatang; (c) seorang laki-laki memegang sabit; dan (d) dibawah gambar tersebut terdapat tujuh perempuan berderet. Lukisan binatang dan orang memegang sabit ini diperkirakan sebagai bukti adanya kurban manusia (Marshall, 1931; Mackay, 1935).
Selain itu juga, ditemukan bukti-bukti adanya persembahan bunga, daun, buah, dan air (Majumdar, 1998:18; Luniya, 2002:25). Agama Lembah Sungai Sindhu juga sudah mengenal upacara kematian. Ada tiga sistem upacara kematian, yaitu penguburan, penjemuran, dan pembakaran mayat yang abu sisa pembakarannya dibuang kesungai (Luniya, 2002:28).
Kepercayaan Lembah Sungai Sindhu memiliki kesamaan dengan kepercayaan dalam agama Hindu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prototype pemujaan kepada Shiwa dan Shakti, Lingga, pohon, binatang, upacara kurban, dan upacara persembahan lainnya sudah lama di praktikan oleh masyarakat dilembah sungai Sindhu, jauh sebelum kedatangan orang-orang Arya ke India (Macmillan, (ed) 1978:21-23). Dengan mengetahui hal ini maka semakin jelas bahwa perkembangan agama dan kebudayaan Hindu sekarang ini, bukanlah semata-mata warisan dari peradaban bangsa Arya atau agama Weda (Vedic Religion).

2.2              Zaman Weda (2.000 SM – 1.000 SM)
Peradaban Lembah Sungai Sindhu dilanjutkan oleh orang yang menyebutkan dirinya bangsa Arya. Mereka datang memasuki India dari barat laut India melalui Hindu-Kush atau Khaiber Pass. Wilayah ini sangat subur karena dilalui oleh sungai-sungai besar (Mahajan, 1960: 96-101). Secara fisik, orang Arya adalah orang berkulit putih, tinggi, berhidung mancung, dan sangat aktif. Orang Arya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi pada zaman itu, walaupun mereka hidup nomaden (tidak tetap). Bangsa Arya dianggap sebagai pembawa dan penyebar agama Weda (Vedic Religion) di india.
Setelah itu, orang-orang Arya menduduki wilayah lembah sungai Sindhu (Sapta-Sindhu) untuk beberapa waktu lamanya. Pada akhirnya mereka menyebar kearah utara dan timur, yaitu di daerah lembah sungai Gangga dan Yamuna, serta menaklukan suku-suku lainnya (Tripati, 1999:27, Mahajan, 2002:101). Untuk mendapat keterangan mengenai kebudayaan bangsa Arya, terutama yang bersangkutan dengan agama, social, ekonomi, dan politik bangsa Arya,sudah pasti kitab suci Weda adalah sumber yang terpenting.

A.    Sekilas Tentang Weda
Kata “Weda” berasal dari urat kata “Wid” yang artinya “pengetahuan” atau “mengetahui”. Weda diyakini bersumber dari wahyu Tuhan yang di dengar langsung oleh para Maharsi sehingga disebut Sruti. Dengan demikian Weda bukalah buatan manusia (apuruseya). Pengajaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan (guruparampara). Weda berjumlah empat yakni Rig Weda Samhita, Sama Weda Samhita, Yajur Weda Samhita, dan Atharwa Weda Samhita. Kelompok Weda pertama di sebut Weda Sruti, dan yang terakhir disebut Weda Smrti. Kitab suci Weda terdiri atas bagian-bagian, sebagai berikut:
a.       Kitab-kitab Mantra Samhita dari Catur Weda.
b.      Kitab-kitab Brahmana yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
c.       Kitab-kitab Aranyaka yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita.
d.      Kitab-kitab Upanisad, atau disebut juga kitab Wedanta yang dikaitkan dengan setiap Weda Samhita. Wedanta artinya bagian akhir Weda.
Kitab Samhita merupakan buku-buku yang isinya berupa “kumpulan nyanyian pujaan” atau himne yang harus diucapkan atau dinyanyikan untuk memuji kebesaran daripada Dewa, serta memohon perlindungan dan anugrahnya. Kitab-kitab Brahmana merupakan risalah (treatise) yang berhubungan dengan doa-doa dan upacara-upacara yajna (kurban suci). Kitab-kitab Aranyaka berisi tentang pemujaan, ajaran-ajaram spiritual, perumpamaan-perumpamaan penting dari tata cara dan upacara keagamaan, serta makna-makna mistis dari kitab-kitab Samhita. Kitab Upanisad berisi filsafat mengenai Brahman (realitas tertinggi), Atman, Punarbhawa (samsara), asal mula alam semesta, dan kegaiban alam semesta.
Rig Weda adalah weda yang tertua diantara empat Weda yang lain. Weda pada mulanya diajarkan secara lisan dalam garis perguruan oleh banyak Rshi. Secara tradisi diyakini bahwa pengkodifikasian Weda dilakukan oleh maharsi Wyasa bersama keempat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Waisampayana, dan Sumantu. Para sarjana memperkirakan bahwa pengkodifikasian itu dilakukan antara tahun 1.500 SM – 1.000 SM.  Zaman Weda umumnya dibagi menjadi dua periode, yaitu Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early Vedic Peroid), dan Zaman Weda Akhir (Leter Vedic Peroid).
  1. Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early Vedic Period)
Periodisasi zaman Weda pada umumnya, kalangan sejarah berpendapat bahwa zaman Weda (zama Rig Weda) diperkirakan berlangsung antara tahun 2.000 SM – 1.000 SM. Adapun ciri-ciri yang terpenting dari agama Rig Weda dapat dilihat dari konsep ketuhanan dan ritual yang dilaksanakan sebagai berikut:
1)      Konsep Ketuhanan Rig Weda
Konsep ketuhanan pada zaman Rig Weda adalah henoteisme, kathenoteisma, politeisme, monoteisme, dan monism. Agama Rig Weda (Rig Vedic Religion) percaya kepada banyak Dewa, tapi ada satu Dewa tertinggi. Dewa tertinggi menjadi pemimpin dari dewa-dewa yang lain. Bangsa Arya terdiri ndari banyak suku maka Dewa tertinggi bagi satu suku kadangkala berbeda dengan satu suku yang lain. Dewa Tertinggi ini diyakini adalah pencipta, pemelihara, pelindung, pemberi kebahagiaan, dan juga kekayaan kepada manusia. Seperti misalnya pemujaan kepada Surya, Usha, Indra, Parjana, Wayu, dan lain-lain.
Dalam Rig Weda ada dua dewa yang tertua dari dewa-dewa lainnya yaitu Dyaus ada;ah dewa yang bersinar di sorga dan Parthiwi adalah dewi bumi. Kemudian, kedua dewa ini digeser atau digantikan kedudukannya oleh Waruna dan Indra. Dewa Waruna adalah Dewa yang paling mulia. Ia adalah dewa atau pemimpin dari para Dewa. Dewa Wruna adalah Dewa Matahahu, sekaligus Penguasa Alam Semesta. Indra adalah Dewa yang paling terkenal dan yang paling banyak di puja. Hampir seperempat dari seluruh jumlah nyanyian pemujaan di dalam kitab Rig Weda Samhita, di tujukan kepada dewa Indra.
Selain percaya kepada Dewa-dewa, Agama Rig Weda juga percaya adanya leluhur. Ada beberapa kepercayaan terhadap leluhur dalam kitab suci Rig Weda (X. 15), sebagai berikut:
ü  Leluhur pergi kesorga ataupun neraka berdasarkan yajna yang di persembahkan (karma).
ü  Leluhur tinggal bersama para Dewa.
ü  Leluhur ikut minum soma (minuman keras) bersama para Dewa.
ü  Leluhur ikut menikmati persembahan (swada).
ü  Kedudukan leluhur sama dengan Dewa (Griswold, 1999:520-522).
Walaupun mulanya Agama Rig Weda dipandang sebagai politheisme, tetapi pendapat ini diluruskan. Mengingat pada Sloka  terakhir dari kitab Rig Weda jelas sekali menunjukan bahwa kepercayaan agama Rig Weda mengarah ke kepercayaan monotheisme. Hal ini ditemukan dalam kitabsuci Rig Weda, Mandala X, yang menyatakan bahwa “yang ada” berasal dari “yang tidak ada”, yang “nyata” muncul dari “yang tidak nyata”. Rig Weda percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga percaya dengan banyak Dewa dan manifestasi-Nya.
2)      Ritual
Upacara soma merupakan pusat dari ritual Agama Weda. Upacara Soma adalah upacara persembahan Minuman yang dapat menyenangkan hati (memabukan) pada Dewa.
Ciri lainnya dari zaman ini juga dikenal adanya binatang-binatang yang disucikan, tetapi ada juga yang dikurbankan seperti: sapi, kambing, kerbau, binatang-binatang buruan, ular dan burung-burung. Mengenai kurban binatang dijelaskan bahwa dalam kitab suci Rig Weda terdapat mantra-mantra yang di ucapkan pendeta sebelum upacara kurban dilakukan, sebagai berikut:
“Engkau tidak disakiti, engkau tidak dibunuh, engkau tidak mati, engkau akan pergi ke tempat para dewa melalui jalan yang benar dan indah” (Griffith, 1999:229; Puja, 1979:334).
“Engkau akan dijemput dengan kereta indah, yang ditarik oleh kuda milik Dewa Indra, kuda milik Dewa Maruta, dan kuda milik Dewa Aswin, dan para dewa juga akan menemanimu pergi ke sorga”(Puja, 1979:334).
Berdasarkan sloka di atas maka menurut kitab suci Rig Weda, upacara kurban binatang bertujuan untuk:
Ø   Membantu binatang kurban untuk mendapatkan sorga tempat kediaman para Dewa (Puja, 1979:338)
Ø   Membebaskan dosa-dosa binatang itu sehingga bisa menjelma kembali menjadi makhluk yang lebih mulia (Sugiarto, 1982:72).
Ø   Membebaskan dosa-dosa orang yang melaksanakan yajna.
Pada zaman Rig Weda juga dilaksanakan upacara kematian. Ada dua jenis upacara kematian, yaitu dengan jalan dibakar (Agni Dagdha) dan dikubur (Anagni Dagdha). Selain itu, agama Rig Weda juga melaksanakan upacara yajna kepada leluhur. Catatan penting lainya dari agama Rig Weda bahwa agama ini tidak mengajarkan pembuatan dan penyembahan patung. Rig Weda juga tidak menganjura membuat tempat pemujaan atau kuil, mereka sembahyang memuja Tuhan di tempat terbuka atau altar.
  1. Zaman Weda Akhir (Leter Vedic Period)
Pasca berakhirnya zaman Rig Wea, orang-orang Arya memasuki kondisi kehidupan yang berbeda baik dalam hal agama, sacial, budaya, dan ekonomi. Ini merupakan pembabakan sejarah kedua dalam agama Weda (Vedic Religion). Zaman weda akhir berlangsung sekitar tahun 1,000 SM-600 SM. Petunjuk keagamaan orang Arya pada zaman ini dapat dijumpai dalam kitab suci Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda, termasuk juga kita-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad.
Pada zaman Sama Weda, kehidupan masyarakat Arya semakin membaik. Bangsa Arya sudah berhasil menguasai wilayah India Utara dan India timur. Pada zaman ini sistem kerajaan sudah mulai terbentuk. Agama Weda juga mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sehingga kedudukan pendeta menjadi sangat penting pada zaman ini. Sistem pelapisan sosial ini didasarkan pada konsep Catur Warna yang telah disebutkan dalam Rig Weda. Pada zaman ini, catur warna yidaklah berdasarkan atas profesi, tetapi berdasarkan keturunan atau warisan.
Mantra-mantra Rig Weda yang semula hanya dibaca pada waktu upacara keagamaan, pada zaman sama wedasudah mulai dinyanyikan. Melagukan mantra-mantra Rig Weda dalam pelaksanaan upacara yajna adalah ciri utama zaman sama weda ini. Nyanyian-nyanyian suci itu dimodifikasikan menjadi bentuk kitab suci yang di sebut kitab suci Sama Weda. Setelah itu mulailah dikumpulkannya sloka-sloka suci lainnya dalam bentuk baru yang disebut kitab suci yajur weda. Zaman ini juga disebut zaman yajur weda. Zaman yajur weda adalah terjadinya perubahan kehidupan social ekonomi bangsa Arya.
Kitab suci yang berisikan petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan setiap upacara yajna lengkap dengan mantra-mantra pemujaannya inilah yang disebut Yajur Weda. Yajur weda dibagi menjadi dua bagian penting, yakni Krishna Yajur Weda (Yajur Weda Hitam) dan Shukla Yajur Weda (Yajur Weda Putih).
Kedudukan yajna pada zaman ini sangat penting(Sharma, 2001:59). Ada beberapa jenis yajna yang dilaksanakan zaman ini, antara lain Gosawa, Rajasuya, Wajapeya, Goghana, Caturmasya, Nirruddha Pasu Bandha, Maduparka, Gawamayana, Sarwamedhayajna, Naramedhayajna, Aswamedhayajna, dan Homa atau Agnahotra. Sementara itu, yajna-yajna yang lain secara umum bertujuan untuk:
a.       Memohon kepda para dewa agar hukum alam (rta) berfungsi sebagaimana mestinya, agar tanah menjadi subur, dan agar dewa tidak murka;
b.      Menyenangkan hati para dewa sehingga berkenan memberi anugrah, keuntungan, kemenangan dan kekuatan.
c.       Mendapat pengampunan dosa.
Ada beberapa hal yang menjelaskan pentingnya kedudukan pendeta pada zaman weda ini sebagai berikut:
1.      Pendeta memiliki kekuatan magis
2.      Pendeta memberikan kekuatan magis atau gaib
3.      Pendeta berfungsi untuk mengesahkan kedudukan raja
4.      Pendeta mendoakan kemenangan raja
5.      Hanya pendeta yang dapat melakukan upacara secara tepat dan benar
6.      Pendeta adalah perantara manusia dengan para dewa
7.      Salah dalam pelaksanaan yajna, berati tujuan tidak tercapai
Mengingat pentingnya upacara yajna pada jaman ini sehingga yajna juga diyakinji mampu mengantarkan manusia menuju sorga.
  1. Zaman Atharwa Weda
Secara tradisi, dari zaman Sathapatha Brahmana sampai dengan zaman Manu Samhita atau zaman Smrti, kitab suci Atharwa weda tidak diakui sebagai kitab suci oleh para pendeta. Pada zaman itu kitab suci yang diakui hanya Rig Weda, Sama Weda, dan Yaju Weda, yang disebut juga kitab suci Trayi Weda atau Trayi-Widya, berarti tiga kitab suci Weda. Kemudian pada zaman Maurya yaitu zaman kebangkitan Agama Hindu (Rivival of Hinduism) pada zaman Brahmana, maka Athawa weda di akui sebagai bagian dari Weda. Seja zaman inilah kitab suci Weda disebut Catur Weda.
Hal ini terjadi karena Kautilya atau Chanakya – Perdana Mentri dari raja Chandragupta Maurya – yang percaya dengan ilmu gaib dan ilmu hitam, mengakui keberadaan kitab Atharwa Weda sebagai kitab suci. Disamping itu, ada juga mantra untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan mantra-mantra mengenai pengobatan atas suatu penyakit (Atharwa Weda Samhita, XIX.1.1-72; Mani, 1984:72).
Kitab suci Atharwa Weda juga menyebutkan mantra-mantra yang berisi ilmu sihir untuk melawan ilmu hitam, untuk melindungi orang sakit, dan mantra untuk melawan penyakit itu sendiri. Besar kemungkina kitab suci Atharwa Weda merupakan warisan dar keyakinan orang-orang Dravida karena kebanyakan isinya merupakan tradisi yang umum dilaksanakan oleh orang-orang Dravida. Dengan demikian diterimanya kitab suci Atharwa Weda sebagai bagian dari Catur Weda Samhita menunjukan terjadinya sinkritisme agama Arya dan Dravida.
  1. Keadaan Agama Hindu pada Zaman Weda Akhir (Leter Vedic Period)
Selama upacara yajna berlangsung, keempat kitab suci Weda (Catur Weda) diucapkan dan dinyanyikan. Mantra-mantra dalam kitab suci Rig Weda di ucapkan oleh pendeta yang di sebut Hotri. Mantra-mantra dalam kitab suci Sama Weda dinyanyikan oleh pendeta yang disebut Udgatri. Mantra-mantra dalam kitab suci Yajur Weda dinyanyikan oleh pendeta yang disebut Adwaryu. Sementara itu, mantra-mantra dalam kitab suci Atharwa Weda di ucapkan oleh pendeta yang disebut Brahmana.
Pada zaman ini ada lebih dari sepuluh macam yajna besar yang harus dilakukan. Salah satu yang penting diketahui adalah upacara Caturmasya Yajna. Yajna ini dilakukan untuk memuja Dewa Waruna. Pada upacara ini pendeta tertentu mempersembahkan Hawi, kedalam api pemujaan yang disebut havanyagni atau homa atau agnihotra, baik diselatan maupun di utara altar pemujaan. Setelah itu, pendeta memanggil istri dari si pembuat yajna dan menyuruhnya untuk menyatakan dosa yang pernah dilakukan. Upacara Caturmasya ini disebut dalam Yajur Weda, tetapi tidak dilakukan pada zaman Rig Weda.
Ini berarti bahwa zaman yajur weda muncul ajaran etika pengakuan dosa. Etika pengakuan dosa tidak ditemukan dalam Rig Weda. Dalam Rig Weda hanya ditemukan istilah pertobatan. Catatan penting lainya dari zaman Weda akhir adalah mengenai atribut upacara. Dalam kitab suci yajur weda, Mandala X, disebutkan bahwa umat yang melaksanakan upacara harus memakai mehkala (sejenis selempot di bali) yang dililitkan di sekitar pinggang, dan juga memakai ushnisha, yaitu sejenis destar ataupun semacam “ketu” yang dipakai disekitar atau di atas kepala. Disamping itu, juga disebutkan bahwa dalam pelaksanaan sebuah  yajna, pera pendeta mengenakan pakaian putih, kuning, atau merah (Datta, 19950).
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dijelaskan karakteristik agama Weda (Vedic Religion) (Kundara, 1968:34; Sharma, 2001:50), sebagai berikut:
1.    Percaya adanya banyak dewa, tetapi juga percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
2.    Percaya adanya leluhur
3.    Pentingnya pembacaan kitab suci Weda
4.    Pentingnya melaksanakan upacara yajna kurban
5.    Pentingnya melaksanakan upacara kematian
6.    Pentingnya kedudukan pendeta
7.    Tidak menyembah patung
8.    Tidak membuat tempat ibadah (kuil)
9.    Agama Weda bersifat optimistic, agama rasa, agama kepuasan hati, dan bhakti
10.                        Moksa dan sorga hanya dapat dicapai melalui yajna (Rajeev, 1990:17)

















3.1   KESIMPULAN
Kata ‘Hindu’ atau ‘Hinduisme’ dipakai oleh orang-orang hindu sekarang, istilah ini telah memiliki sejarah sendiri. Mula-mula istilah ini diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke India seperti, Yunani, Arab, dan Persia. Ada dua zaman yang dibahas dalam makalah ini yaitu zaman Lembah sungai Sindhu dan zaman Weda.
Zaman Peradaban lembah sungai Sindhu dibangun oleh penduduk asli India yaitu bangsa Dravita yang sudah mempunyai peradaban yang tinggi, bahkan sebelum bangsa Arya memasuki India sekitar tahun 2.000 SM. Diketahui bahwa penduduk asli India itu adalah suku bangsa Dravida yang mempunyai ciri-ciri ; berkulit hitam, berhidung pesek, berambut kriting, dan berbadan pendek. Zaman Peradaban Lembah Sungai Sindhu berlangsung sekitar 3.000 SM – 2.000 SM.
Peradaban Lembah Sungai Sindhu dilanjutkan oleh orang yang menyebutkan dirinya bangsa Arya. Secara fisik, orang Arya adalah orang berkulit putih, tinggi, berhidung mancung, dan sangat aktif. Bangsa Arya dianggap sebagai pembawa dan penyebar agama Weda (Vedic Religion) di india. Zaman Weda berlangsung sekitar 2.000 SM – 1.000 SM.
Kata “Weda” berasal dari urat kata “Wid” yang artinya “pengetahuan” atau “mengetahui”. Weda diyakini bersumber dari wahyu Tuhan yang di dengar langsung oleh para Maharsi. Pengajaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan (guruparampara). Weda berjumlah empat yakni Rig Weda Samhita, Sama Weda Samhita, Yajur Weda Samhita, dan Atharwa Weda Samhita. Kelompok Weda pertama di sebut Weda Sruti, dan yang terakhir disebut Weda Smrti.